Senin, 09 Januari 2012

METODOLOGI PENDIDIKAN SAINS MENURUT ISLAM ( KAJIAN EPISTEMOLOGI )


METODOLOGI PENDIDIKAN SAINS MENURUT ISLAM
( KAJIAN EPISTEMOLOGI )

A.    Pendahuluan
Ilmu sains merupakan salah satu disiplin ilmu eksakta yang mampu membawa manusia ke tingkat ma’rifatullah, jika dipelajari dan diajarkan dengan cara dan metode sesuai ranah keislaman. Sebagian besar masyarakat Islam saat ini, memahami sains sebagai produk Barat non-muslim dan tidak bersumber dari Islam, sehingga ada yang beranggapan bahwa sains tidak penting untuk dipelajari karena jauh dari nilai-nilai Islam. Fenomena ini dampak dari kurangnya informasi yang diperoleh seputar para ilmuwan muslim yang menjadi perintis dan pengembang ilmu sains itu sendiri.
Dalam hal ini, penulis dengan tegas mengemukakan bahwa opini masyarakat yang demikian sangat keliru. Islam merupakan agama fitrah dan referensi valid dalam segala hal termasuk ilmu pengetahuan. Pada umumnya para ilmuwan muslim-lah pelopor utama yang memberikan konstribusi ilmu pengetahuan terbesar sepanjang sejarah keilmuwan; di antaranya Ibnu Rusyd (filosof, dokter, fikih), Al-Kindi, Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Haitsam (bapak ilmu optik), Al-Khawarizmi (matematika dan astronom), Ar-Razi (kedokteran dan kimia), Jabir Ibnu Hayyan (pakar kimia), Al-Biruni, Al-Battani, Ummar Khayyam, dan masih banyak lagi.[1]
Selanjutnya George Sarton dalam bukunya History of Science, membagi tiap abad dalam periode 50 tahun dan mengaitkan masing-masing periode dengan tokoh ilmuwan yang paling menonjol pada waktu itu; tampak deretan nama Ibn Hayyan, Al Khawarizmi, Ar Razi, Al Mas’udi, Abul Wafa, Al Bairuni dan Umar Khayyam. Selama 350 tahun sains dimonopoli oleh umat Islam yang berkebangsaan Arab, Turki, Afghan, dan Persia. Mereka adalah tokoh kimia, aljabar, kedokteran, geografi, matematika, fisika, serta astronomi dalam upaya memakmurkan Islam. Baru setelah tahun 1100 ada satu atau dua nama orang Eropa yang menyertai seperti Ibn Rusyd, At Tusi, dan An Nafis, selama 250 tahun berikutnya. Enam abad lamanya sains berkembang dengan mutu tinggi                 di lingkungan umat. Banyak ide ilmuwan muslim diambil ilmuwan Barat, yang mengikutinya 5 abad kemudian, dan merekalah yang tumbuh menjadi tokoh-tokoh bangsanya. Nyata benar dampak dorongan Islam kepada umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[2] Namun sangat disayangkan, akibat adanya pola fikir yang menggarisbawahi bahwa sains berasal dari Barat non-muslim, sampai saat ini para ilmuwan muslim tersebut nyaris tanpa pelanjut.
Sains dalam arti sempit didefinisikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam. Pada prinsipnya sains merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan “common sense”,[3] suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain).[4]
Sains Islam menjadi wadah penghantar signal-signal keimanan dan ketauhidan, serta memberi impuls bagi manusia selaku khalifah agar senantiasa menjaga alam ini dengan  baik dan mengembangkannya dengan berbagai potensi yang dimiliki. Pendidikan sains yang dinamis dan bermuatan nilai-nilai keislaman seyogyanya mampu meminimalisir kekeliruan-kekeliruan dalam menafsirkan setiap gejala-gejala yang ditunjukkan alam. Seumpama pelangi, tatkala ditafsirkan secara awam tanpa pengetahuan kerap dikaitkan dengan sebuah legenda; sebagai rangkaian selendang warna-warni putri khayangan yang turun ke bumi saat mandi di sungai. Dalam hal ini, sains menjawab dan meluruskan kekeliruan pemahaman yang berakibat fatal terhadap kualitas akidah seseorang yang meyakininya, bila tidak dibenarkan secara ilmiah.
Pada hakikatnya, pelangi kerap terlihat saat musim hujan yang disebabkan oleh bias sinar matahari yang mengenai butiran-butiran air hujan dan membentuk warna-warni indah sedemikian rupa, untaian warna-warni tersebut menunjukkan warna sinar matahari yang sesungguhnya; yaitu: Mejikuhibiniu (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu). Selain pelangi, sains juga berkembang demikian pesat untuk menjawab setiap persoalan kealaman dan makluk hidup.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa pendidikan sains berperan penting dalam menjawab seluk beluk alam. Selain itu suatu hal yang mustahil bagi manusia bila tanpa sains akan mampu menciptakan teknologi-teknologi mutakhir guna menunjang kemaslahatan hidupnya. Namun sebagai peringatan; pendidikan sains saat ini perlu dilepas dari simpul-simpul rasionalisme sekuleritas, karena dapat memberi dampak negatif pula bagi seorang muslim dalam menjalankan tugasnya selaku khalifatullah. Sebagai contoh teori evolusi; yang diprakarsai oleh Charles Darwin- pada dasarnya lebih awal dicetuskan oleh Lamarck, yang menyatakan bahwa “manusia berasal makhluk sejenis kera”.[5] Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 59. Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia”. Selain itu dalam surat yang lain, Al-Kahfi ayat 37 Allah swt berfirman. Artinya: “Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?”.
Dari serangkaian uraian di atas, jelas bahwa Islam berada pada posisi sebagai sumber dan tolak ukur kebenaran sains itu sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya sains dipelajari dan diaplikasikan sesuai arahan dan rasional Islam yang kuat dan sepatutnya seorang muslim dapat memaknai sains secara hakiki sehingga mampu bersaing secara global. Pada uraian selanjutnya penulis akan memaparkan “metodologi pendidikan sains yang ideal menurut kacamata Islam”.

B.     Pendidikan Sains Menurut Islam
Kata sains merupakan alih bahasa dari kata “Science”, yang berasal dari bahasa Latin; “Scire” artinya “to know”. Dalam arti sempit diartikan sebagai ilmu pengetahuan alam, yang bersifat kuantitatif dan objektif. Selain itu, sains juga didefinisikan sebagai: (1) ilmu literatur (sistematis) yang dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya, (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata (fisika, kimia, biologi).[6]
Sains bukanlah ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh Barat sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Allah swt bahkan membimbing manusia untuk senantiasa menjadi saintis sejati di alam ini. Bahkan Islam mengarahkan manusia agar senantiasa berwawasan luas dan mengikuti ciri-ciri global kemajuan modernisasi Islam, sebagai berikut: [7]
1.   Menghindari cara berpikir sempit dan fanatik buta (QS. Al-Jatsiyah : 13).
2.   Berwawasan luas dalam segala hal, termasuk menguasai sejarah dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai pihak; sesama manusia, umat, bangsa, dan negara (QS. al-Hujarat : 13).
3.   Senantiasa menghargai waktu, disiplin dan teratur dalam melaksanakan seluruh aktivitas dan perkerjaannya (QS. as-Sajadah : 4).
4.   Aktif dan terlibat dalam suatu aktivitas/kegiatan yang menuju kepada kedinamisan pola pikir dan pola hidup, mengadakan perencanaan yang baik, teratur dan mengena; sehingga tercipta suatu organisasi dan rencana kerja yang mantap dan membentuk pribadi yang ihsan.
5.   Percaya diri, mampu mengatasi persoalan dengan sebaik-baiknya dan berkeyakinan mantap dalam menguasai alam lingkungan (masyarakat) demi meningkatkan kualitas, tujuan dan sasaran hidup dalam orientasi ijjtihad.
6.   Memperhitungkan segala kemungkinan yang berkaitan dengan dirinya dan lingkungan sekitar (QS. Hud : 61 dan QS. Luqman : 18).
7.   Menghargai orang lain dan menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain sehingga senantiasa mengembangkan pola interaksi yang sesuai dengan tatanan nilai-nilai Islam.
8.   Senantiasa meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi (QS. Al-Mujadalah : 11).
9.   Berlaku adil dan memeratakan persoalan apapun dihadapan manusia lain (QS. An-Nahl : 90).


Selanjutnya penulis akan menguraikan secara umum, karakteristik sains, sebagai berikut:
a.    Hasil sains bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
b.   Hasil sains bersifat relatif atau tidak mutlak (absolut), bisa terjadi kekeliruan, karena yang menyelidiki adalah manusia.
c.    Sains bersifat objektif, karena prosedur kerja dan cara penggunaan metode sains tidak bergantung pada yang menggunakan, tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi.
Kendatipun demikian, Islam membuka kesempatan bagi setiap manusia dalam mengembangkan sains dan teknologi secara luas demi kemaslahatan umat. Sebagaimana isyarat wahyu yang pertamakali diturunkan sebagai fakta nyata bahwa Islam sangat apresiatif terhadap sains. Menurut Mahdi Ghulsyani bahwa di dalam al-Quran terdapat kurang lebih 750 ayat yang mempunyai relevansi dengan sains dan teknologi.[8] Oleh karena itu, para ilmuwan muslim tidak terkendala dalam menghubungkan alam ini (sains) dan Tuhan, selain disebabkan dengan adanya al-Quran, para ilmuwan juga berasumsi bahwa poros utama ilmu pengetahuan modern tidak sedikit yang diwariskan oleh Islam.
Keinginan membangkitkan kembali peradaban Islam merupakan bentuk aktualisasi romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Setiap muslim berkewajiban membina peradaban tersebut berdasarkan nilai-nilai Islam sesuai dengan catatan sejarah keemasan peradaban Islam di masa lalu. Seyogyanya peradaban yang kokoh ditentukan oleh sistem pengetahuan yang mapan pula. Dengan demikian, bangkitnya peradaban Islam sangat bergantung pada keberhasilan di bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains modern yang memastikan nilai-nilai Islam termuat seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama atau sebaliknya.
Perkembangan ilmu pengetahuan kian pesat seiring dengan dinamika peradaban manusia. Dalam Islam, ilmu agama (naqliyah) merupakan sumber ilmu pengetahuan lain karena ilmu agama bersifat mutlak. Ilmu agama bersifat normatif tekstual dan teological klasik yang meyakini kebenaran sebagai kebenaran Tuhan dan tidak diragukan lagi. Berbeda halnya dengan sains, merupakan ilmu berdasarkan fakta, logika dan mendasarkan perkembangannya kepada apa yang dilihat, diukur dan dapat dibuktikan. Sains bersifat positivis, empiris dan rasionalis. Sains berpijak pada rasio manusia pada saat itu sehingga kebenarannya bersifat relatif. Namun demikian baik ilmu agama maupun sains, keduanya berkembang untuk tujuan yang sama yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai khalifah di alam semesta ini.
Dengan kata lain, sains memiliki paradigma dan metode tertentu (scientific paradigm), sedangkan metodenya disebut metode sains (scientific method). Sains berkembang dengan metode yang mengandalkan logika dan bukti empiris. Metode sains mengatakan: bila benar, buktikan bahwa itu logis serta tunjukkan bukti empirisnya.[9] Perbedaan hanya terletak pada metodologis dan klaim; sehingga ungkapan formula serta karakter juga berbeda. Pesan agama cenderung mengajak manusia untuk return; yaitu melihat atau kembali kepada Allah swt. Sementara sains cenderung research, yaitu melangkah ke depan dan menatap alam sebagai suatu objek yang senantiasa harus dikaji dan difahami. Oleh karena itu, ketika sains dijadikan suatu ideologi karena sebagian masyarakat merasa cukup menyelesaikan problem kehidupan mengunakan jasa sains, maka pada kondisi tersebut sains telah disejajarkan sebagai rival agama. Akan tetapi, tatkala sains dipandang sebagai fasilitator teknis dan metode penafsiran terhadap alam raya, maka sains dapat diposisikan sebagai salah satu medium dan ekspresi agama.
Integrasi sains dan agama dapat dilakukan dengan mengambil inti filosofis ilmu-ilmu keagamaan fundamental Islam sebagai paradigma sains masa depan. Inti filosofis itu dengan adanya hierarki epistemologis, aksiologis, kosmologis, dan teologis yang sesuai dengan hierarki integralisme; materi, energi, informasi, nilai-nilai dan sumber. Proses integrasi ini dapat disebut sebagai islamisasi peradaban masa depan. Dengan demikian, kebangkitan peradaban Islam di masa depan telah menemukan kembali sains sebagai anak hilang untuk dikembangkan ke arah islami yang lebih konstruktif, produktif, dan harmonis.

C.    Pentingnya Pembentukan Sains Islami
Alasan yang mendasar akan pentingnya pembentukan Sains Islami, sebagaimana dikemukakan Haidar Bagir, sebagai berikut: [10]
a.       Umat Islam butuh sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya; baik material maupun spiritual. Sistem sains yang ada kini tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini disebabkan sains modern mengandung nilai-nilai khas Barat yang sebagian besar bertentangan dengan nilai-nilai Islam selain dari telah terbuktinya banyak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi.
b.      Secara sosiologi, umat Islam yang tinggal di kawasan geografis dan berbeda kebudayaan dengan Barat; tempat sains modern dikembangkan, jelas butuh sains yang berbeda pula. Sains Barat diciptakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri.
c.       Pada dasarnya umat Islam memiliki peradaban islami dimana sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat Islam. Jadi syarat-syarat untuk itu mampu dipenuhi dan punya alasan untuk berharap menciptakan sebuah sains Islam dalam peradaban Islami pula.
Bekerja dalam pengetahuan Barat, ilmuwan Muslim hanya bisa mempromosikan nilai-nilai ketegangan-ketegangan dalam kebudayaan Barat.[11] Dalam arti kata, pengetahuan sekulerisme yang dikembangkan dalam budaya Barat akan menyebabkan berbagai bentuk kontroversi dan perselisihan yang terjadi di antara umat Islam. Oleh karena itu, Sains Islam menjadi solusi utama dalam memecahkan ketegangan-ketegangan yang terjadi.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa sains Islam berbeda halnya dengan sains Barat. Adapaun ciri-ciri sains Islam yang membedakannya dengan sains lain dan menghindari kekeliruan dalam proses pengembangannya. Ciri-ciri tersebut, adalah: [12]
1.   Mengukuhkan iman, menguatkan akidah dan meneguhkan kepercayaan. Tidak memisahkan ilmu daripada iman dan menyisihkan agama daripada sains. Sains berlandaskan prinsip tauhid, melihat kewujudan makhluk membuktikan wujudnya Khaliq yaitu Allah swt.
2.   Sains dan ilmu pengetahuan merupakan asset peleburan amal shaleh untuk kebahagian akhirat.
3.   Segala yang berlaku adalah ketentuan Allah swt termasuk fenomena pelik, ajaib dan aneh.
4.   Sains Islam menekankan kepada aspek keberkatan ilmu dalam membolehkan seseorang ilmuan memiliki sifat arif dan bijaksana dan bebas dari sifat jahil.
5.   Sains terikat dengan nilai akhlak yang ditentukan syariah berdasarkan kepada al-Quran dan al-Sunnah.
6.   Kebenaran dalam sains dapat menemukan seseorang kepada hakikat kebenaran.
7.   Segala yang wujud di alam nyata adalah suatu pernyataan organik yang saling memerlukan.

D.    Metodologi Pendidikan Sains Menurut Islam
Pendidikan sains menurut Islam dapat dikembangkan dengan berbagai aplikasi yang sekiranya dapat mengangkat kualitas pengetahuan kita selaku khalifah di muka bumi ini, sebagai berikut.
1.      Berpandangan bahwa setiap disiplin ilmu wajib dipelajari, karena menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim

Arti “Ilmu Pengetahuan”, Ilm dan Ma’rifah, yang pertama adalah penyelidikan. Pengertian tentang ilmu pengetahuan ini diawali oleh penelitian istilah yang menunjukkan tingkat pemikiran atau daya pikir manusia.[13] Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, bahkan Allah swt sendiri melalui al-Quran mengangkat derajat orang-orang yang berilmu: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Al Mujadilah: 11).
Pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia, dipandang dari sudut ibadah; sangat tinggi nilai dan pahalanya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: “Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kaki di waktu pagi (maupun petang), kemudian mempelajari satu ayat dari kitab Allah yaitu al-Qur’an, maka pahalanya lebih baik daripada ibadat satu tahun”. Hal senada ditemukan dalam hadist lain yang artinya: “Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”.
Islam memastikan setiap muslim agar senantiasa belajar dan menuntut ilmu yang setinggi-tingginya. Rasulullah telah menerapkan suatu sistem yang terbaik dalam menyukseskan hal ini, yakni dengan mendorong umat islam agar gemar menuntut ilmu dan memberantas buta huruf sejak awal berdirinya Daullah Islam di Madinah. Setiap muslim bebas menuntut ilmu dan belajar secara cuma-cuma. Kemajuan tingkat pendidikan pada saat itu berdasarkan ijma’ sahabat, yang menjadi tanggung jawab Khilafah Islamiyyah; dimana pengajarnya memperoleh gaji dari Baitul Mal dalam jumlah tertentu.
Demikian pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga Allah swt mewajibkan kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu sebagai bekal bagi dirinya, baik dalam menjalani kehidupan maupun dalam upaya memenuhi segala keperluan hidupnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Namun Syaikh Ibnu Ruslan mengatakan bahwa: “Siapa saja yang beramal tanpa ilmu, maka segala amalnya akan ditolak oleh Allah swt”. Artinya amal yang diperbuat akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandaskan pada ilmu agama yang benar. Hal ini berhubungan dengan HR. Aisyah (mengenai kitab ilmu), yang artinya: “Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka akan mengikuti ayat-ayat dalam al-Qur’an dengan tidak mengambil pelajaran daripadanya, untuk menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya, padahal takwil tersebut hanya Allah semata yang mengetahuinya dengan pasti”. [14]
Nabi Muhammad saw mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu tanpa batas waktu; “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.” Dengan demikian jelas bahwa Islam menghargai ilmu pengetahuan dan mewajibkan seluruh umat Islam untuk mempelajarinya. Oleh karena itu pendapat yang menganggap bahwa sains merupakan ilmu pengetahuan Barat non-muslim dan tidak perlu untuk dipelajari merupakan anggapan keliru dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Menuntut ilmu dan mempelajari setiap ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, dan umat Islam hendaknya tidak membeda-bedakan porsi keilmuwan dengan mengkotak-kotakan adanya ilmu agama dan ilmu umum secara dikhotomis. [15]
Allah swt menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk al-Quran.“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sains juga berkedudukan sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang melaluinya kita dapat memperoleh petunjuk dan memahami makna dan penafsiran al-Quran dengan baik. Fenomena saat ini, akibat dari asumsi sebagian besar umat Islam dalam memilah-milah ilmu pengetahuan, tingkat pengetahuan umat Islam justru berbalik dibandingkan dengan orang Barat non-muslim. Dikarenakan orang Barat non-muslim mengamalkan kewajiban menuntut ilmu sepanjang hayat dan tanpa batas waktu, usia dan tempat. Hal ini menunjukkan bahwa ketertinggalan umat Islam bukan karena ajaran Islam, akan tetapi karena umat Islam itu sendiri yang tidak mengamalkan perintah agamanya. [16]
Berdasarkan uraian di atas, sebagai umat Islam yang berkewajiban untuk melaksanakan seluruh perintah agama, maka hendaknya kita membuka cakrawala berpikir bahwa sains merupakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah swt dan wajib untuk dipelajari oleh semua kalangan dan usia. Walaupun tidak dapat kita pungkiri bahwa tidak semua orang dapat mencapai tingkai ahli dalam bidang sains. Namun setidaknya dengan mempelajarinya, umat Islam tertarik untuk meneliti, menelaah dan mengamati setiap seluk beluk bumi ini dengan bekal keilmuwan dan wawasan sains yang dimiliki guna meningkatkan keimanan atas segala ciptaan Allah swt di semesta ini, sehingga kita tidak terkesan lagi menjadi pihak konsumtif ilmu-ilmu produksi Barat non-muslim.

2.      Memperbanyak membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan sains Islam

Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diuraikan di atas. Islam sangat menekankan umatnya agar senantiasa menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‘Allamahu al-Bayan) bagi umat Islam. Agama-agama lain tidak ditemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Ayat pertama yang diturunkan dalam Surat al-‘Alaq, memberi gambaran bahwa Allah swt menginstruksikan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena. Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. [17]
Melalui surat al-‘Alaq, Allah Swt memerintahkan kita agar menerangkan ilmu dan memperoleh ilmu melalui salah satu metode; yaitu “membaca”. Setelah itu, kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil dari firman Allah Swt tersebut; yaitu: Pertama, kita belajar dan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya.
Pada awalnya, Islam memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada semua cabang ilmu pengetahuan, Islam mendominasi kejayaan keilmuwan tersebut atas jasa para ilmuwan Islam dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Zaman tersebut merupakan zaman keemasan Islam, walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran.[18] Tugas kita saat ini adalah mengembalikan masa kejayaan Islam seperti dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam, terutama dengan menggalakkan budaya membaca dan cinta informasi pada seluruh lapisan masyarakat.
Menuntut ilmu, dalam kaca mata Islam merupakan bagian dari ibadah. Untuk mengembangkan wawasan dan keilmuwan dalam menuntut ilmu, seseorang tentunya harus banyak memperoleh informasi dengan membaca. Karena melalui membacalah seseorang memperoleh ilmu dan mengetahui seluruh informasi, perubahan maupun perkembangan yang terjadi di alam ini. Membaca merupakan gerbang ilmu dan kunci keberhasilan untuk memperoleh ilmu. Pribadi yang gemar membaca tentunya akan berwawasan dinamis dan senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, asumsi stagnasi tentang sains yang selama ini yang mengikat wawasan berpikir, lambat laun akan merubah paradigmanya ke arah pemikiran Islam yang global dan modern, sehingga kita dapat lebih maju dan segera bangun dari keterpurukan yang melanda dunia Islam saat ini.

3.      Mempelajari ayat-ayat Kauniyyah
Al-Quran merupakan produk ilmu pengetahuan Allah swt yang diturunkan kepada manusia untuk menuntunnya kepada jalur-jalur riset yang perlu ditempuh, sehingga manusia memperoleh hasil yang benar. Disinilah al-Quran berfungsi sebagai hudan memberikan pencerahan bagi akal manusia. Oleh karena itu, usaha untuk terus menerus mengkaji dan mempelajari ayat-ayat Kauniyyah dalam        al-Quran merupakan wajib bagi setiap muslim agar senantiasa mengembangkan dan meriset alam semesta, menciptakan produk, serta menambah keimanan.[19]
Orang yang beriman sangat menghargai ilmu pengetahuan, dikarenakan menuntut ilmu pengetahuan merupakan bahagian dari ibadah wajib seorang muslim. Sehubungan dengan kewajiban seorang muslim selaku ilmuwan di muka bumi ini dalam mempelajari ayat-ayat kauniyyah, Allah swt menggambarkan kewajiban tersebut dalam firman-Nya. “Aku akan memalingkan orang-orang yang memalingkan diri –bumi tanpa alasan yang bena – dari ayat-ayat-Ku di muka” (QS. Al-A’raf : 146). [20]
Mengkaji ayat-ayat kauniyyah juga merupakan aplikasi dari kegiatan mengaji. Al-Quran merupakan represenstasi (wakilan) dari alam semesta beserta isianya. Membaca al-Quran secara tekstual saja dikategorikan “mengaji”, namun membaca al-Quran secara kontekstual dengan mempelajari kandungannya didukung oleh literatur-literatur pendukung sesuai dengan disiplin ilmu juga disebut sebagai mengaji. Oleh karenanya berhak pula memperoleh pahala di sisi Allah swt, dikarenakan dengan mengkaji ayat-ayat tersebut ia akan menghasilkan dan memproduk sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini sebagaimana janji Allah swt: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, maka dia akan melihatnya” (QS. Al-Zalzalah : 7). [21]
Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam merupakan alat-alat yang digunakan untuk meneropong terhadap ayat-ayat Allah swt. Al-Quran berposisi sebagai peletak landasan filosofi alam semesta dan rumus (formula) baku alam semesta dengan segala perubahannya. Dengan kata lain, al-Quran adalah kamus alam semesta, dimana di dalamnya terkandung hubungan yang paralel antara ayat-ayat kauniyyah dan quraniyyah.
Salah satu ayat al-Quran yang memerintahkan manusia untuk melakukan penelitian (suatu kegiatan yang sangat penting pengembangan sains) terkandung dalam surat Yunus: 101; “Katakanlah Muhammad: Lakukanlah nadzar (penelitian menggunakan metode ilmiah). Mengenai apa-apa yang ada di langit dan di bumi”. Lebih rinci mengenai hal tersebut dituangkan dalam surat al-Ghasiyah ayat 17-20; “Apakah mereka tidak memperhatikan (melakukan nadzar) onta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung, bagaimana ia ditancapkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan”.
Selain itu, ayat lain yang mengindikasi ke dalam wilayah sains adalah surat yasin ayat 36; “Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri maupun dari apa yang tidak (belum) mereka ketahui”. Dari ayat tersebut, penciptaan manusia berpasang-pasangan seperti siang-malam (Ali Imran : 190), positif dan negatif, wanita dan pria sampai pada makhluk elementer seperti elektron yang bermuatan negatif, dan positron yang bermuatan positif.[22] Masih banyak lagi ayat-ayat quraniyyah yang mengisyaratkan kepada ayat-ayat kauniyyah.  Dengan mempelajari ayat-ayat kauniyyah, seseorang akan menyadari bahwa kandungan al-Quran demikian besar memuat pendidikan sains.
Adapun beberapa fungsi al-Quran yang menjadi tolak ukur pengembangan sains, sebagai berikut: [23]
1.      Al-Quran sebagai landasan filosofi dalam ber-IPTEK.
2.      Al-Quran sebagai prediktor kejadian di masa mendatang.
3.      Al-Quran sebagai sumber motivasi pengembangan sains.
4.      Al-Quran merupakan ujud simplikasi (penyederhanaan) makhluk Allah dan seluruh perubahannya di alam raya ini.
5.      Al-Quran sebagai sumber etika pengembangan IPTEK.
6.      Al-Quran sebagai sumber kebenaran ilmiah.
Selain itu, pendidikan sains tersebut dapat diaplikasikan dengan beberapa metode, sebagai berikut.
1)      Sains mengajarkan konsep kebenaran guna mentauhidkan Allah swt dan membuktikan keajaiban sains Islam sesuai dengan kandungan al-Quran.
Pendidikan Sains Islam senantiasa mengajarkan si pembelajar kepada konsep-konsep yang berlandaskan pada al-Quran dan hadits serta berupaya meningkatkan kualitas spiritual keimanan seseorang.[24] Sebagai contoh aplikasi metode ini adalah selektif dalam menyajikan materi sehubungan dengan konsep alam semesta. Sains dalam perspektif Islam harus dimulai dan memiliki pandangan kosmos yang qurani ini sebagai latar belakang di setiap jenjang pendidikan.[25] Jika alam semesta ini didefenisikan menggunakan kacamata Einstein;[26] maka hal tersebut bertentangan dengan firman Allah swt dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 47. Artinya: “Dan langit Kami bangun dengan kekuatan, dan Kamilah yang meluaskannya”. Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwa Allah Yang Maha Perkasa meluaskan langit, yang berarti bahwa Sang Pencipta alam membesarkan ruang alam ini, sehingga alam bukanlah alam yang statis.
Selanjutnya sebagai aplikasi realistas pendidikan sains lain, yang sekiranya menambah keimanan seseorang tatkala mempelajarinya. Seperti saat si pembelajar diajarkan konsep zigot dalam sub pokok bahasan sel makhluk hidup dan penyusunannya. Maka pada tahap awal ia diberikan untuk memaknai Surat Al-Baqarah ayat 223. Artinya: “Istrimu adalah ladang bagimu, maka hampirilah ladangmu itu, bilamana saja kamu menghendakinya”. Bila si pembelajar memahami makna ayat tersebut secara awam, maka ia akan berfikir bahwa makna tersebut hanyalah kiasan belaka. Namun selanjutnya dapat diceritakan keajaiban yang nyata sehubungan dengan pengalaman; seorang ahli kandungan yang terperanjat perihal keajaiban tersebut tatkala ia menemukan suatu pernyataan yang dimunculkan 14 abad yang lalu mengenai suatu fakta yang baru ditemukan oleh para ilmuwan pada akhir abad ke-20 ini. Zigot yang tumbuh sebagai “blastomer” menempel di dinding rahim dan menumbuhkan akar-akar yang masuk ke dalam dinding rahim serta mencengkramnya seperti layaknya akar tanaman yang masuk ke dalam tanah baik untuk memperkokoh posisinya maupun untuk mengambil makanan yang diperlukannya. Dengan demikian, si pembelajar turut merasakan takjub dan kian bertambah keimanannya kepada Allah swt. [27]

2)      Memberikan pendidikan sains yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Seumpama sebagai salah satu upaya pendidikan sains dalam melukiskan kebesaran Allah swt melalui perspektif Islam, dapat diwakilkan dengan salah satu organ tubuh; yaitu hidung. Allah swt menciptakan hidung dilengkapi oleh salah satu komponen berupa bulu halus hidung yang bekerja secara kontinu dan bergerak searah sesuai dengan fungsinya dalam mendeteksi benda asing yang masuk ke dalam hidung. Kinerja tersebut terus dilakukan tiada henti sejak manusia dilahirkan hingga akhir hayatnya, dapat dibayangkan jika sekali waktu ia tidak bekerja. Tentunya akan banyak benda asing yang tertampung di dalam hidung, demikian pula kelebihan komponen hidung lainnya; seperti cairan hidung yang berfungsi merekatkan kotoran atau benda asing agar tidak masuk ke saluran dalam hidung yang sensitif.[28]  Dengan demikian jelas bahwa tidak ada sesuatu apapun ciptaan Allah swt yang sia-sia, kesemuanya bermanfaat bagi manusia. Dan setiap hal tersebut berjalan secara berkesinambungan tiada henti hingga hari akhir, berbeda halnya dengan benda ciptaan manusia yang hanya bertahan sementara dan penuh keterbatasan pada limit waktu tertentu. Adanya fakta bahwa segala sesuatu yang ada di dunia adalah ciptaan Allah swt dan adanya keterbatasan kemampuan manusia merupakan contoh pendekatan nilai religi dalam pembelajaran. [29]

3)   Pendidikan sains yang dinamis, praktis dan meransang setiap individu agar senantiasa menelaah, meneliti, dan mengamati setiap seluk beluk alam jagad raya ini. Aplikasi pembelajaran sains yang dinamis akan menstimulus partisipasi aktif si pembelajar, hal ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, sebagai berikut:
a.    Demonstrasi dan diskusi
Keluar dari kotak keterbatasan dalam memahami sains dari sudut pandang teoritis merupakan solusi utama dalam mengajarkan Sains Islam terbaik. Selain itu, aplikasi sains dengan jalan mendemonstrasikan konsep yang diajarkan secara langsung di depan si pembelajar merupakan salah satu metode efektif, dan langkah selanjutnya dilakukan diskusi guna mengetahui tanggapan si pembelajar terhadap konsep yang didemonstrasikan agar memperoleh kesepahaman dalam menyimpulkan materi yang dipelajari. Misalnya; materi banjir dan tanah longsor, dapat didemonstrasikan langsung dengan mencontohkan tidak membuang sampah disembarang tempat serta menggalakkan budaya penghijauan di lingkungan sekitar dan menghindari kegiatan menebang pohon secara liar.[30]  
Untuk memperoleh kesepahaman seputar dampak membuang sampah dan menebang pohon sembarangan dapat dilakukan diskusi guna mencari solusi yang efektif dan berdayaguna secara permanent, sehingga si pembelajar memahami makna kalamullah  “la yufsidu fil ardh” (tidak membuat kerusakan di muka bumi) dan peringatan Allah swt dalam Surat Ar-Rum ayat 41. Artinya: “Kerusakan di darat dan di laut terjadi sebagai akibat perbuatan tangan manusia sendiri. Allah merasakan kepada mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar”.
Metode ini sangat sesuai dengan nuansa Islam, sebagaimana halnya seorang muslim yang telah mengakui dirinya Islam secara lisan dengan mengucapkan Syahadat, maka ia berkewajiban untuk mengaplikasikannya secara amaliyah, tidak hanya sebatas ucapan atau muslim teoritis belaka. Dengan kata lain, ilmu sains yang dipelajari harus diamalkan dan setiap amalan tersebut harus bersifat ilmiah. [31]
b.   Pengamatan (Intidzar)
Beberapa istilah yang digambarkan dalam al-Quran sebagai instruksi bagi manusia agar senantiasa mengamati alam semesta ini dan memposisikan diri sebagai khalifah dan seorang saintis adalah; intizdar,[32] tafakkur, tadabbur, tafaqquh, ibra, ya’ra, ta’aqqul, tayassur, dan selainnya. Metode Intidzar ini dapat dinyatakan sebagai semangat Scientific Inquiry dalam Islam, sebagaimana tersirat dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11. Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Orang yang diangkat derajatnya oleh Allah swt dalam hal ini adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, memiliki sikap mandiri, berfikir kritis, rasional, kreatif, mempunyai kepedulian untuk melakukan penelitian empirik atau eksperimen secara objektif, amanah dan bertanggungjawab atas kehidupannya secara nyata, tanpa harus terbelenggu oleh sesuatu selain Allah swt. [33] Oleh karena itu, dalam proses pendidikan sains hendaknya tidak pernah terlepas dari aplikasi metode-metode ilmiah tersebut guna pengembangan sains ke arah produktivitas; berupa teknologi-teknologi canggih yang seyogyanya berguna bagi kemaslahatan peradaban hidup manusia dan ketakwaan kepada-Nya.

c.    Pendekatan Lingkungan (metode langsung).
Apabila seseorang bermaksud mengajarkan konsep-konsep sains dalam suatu pokok bahasan tertentu, sebelumnya ia perlu mencari informasi tentang keterlibatan konsep yang diajarkan dengan peristiwa atau kejadian dalam lingkungan setempat atau menerapkan metode langsung. Aplikasi metode ini secara jelas digambarkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 31. Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar".
Contoh aplikasi metode pendekatan lingkungan atau metode langsung ini saat mengajarkan konsep sains getaran dan gelombang, dapat dipraktekkan langsung dengan menggunakan lingkungan sekitar, berupa: manusia itu sendiri. Untuk membuktikan bahwa getaran dapat menghasilkan bunyi; si pembelajar diminta memegang lehernya dan diinstruksikan berbicara, dengan demikian terbukti secara nyata bahwa getaran menghasilkan bunyi dari salah satu organ tubuh ciptaan Allah swt yaitu pita suara yang berada dalam tenggorokan manusia.[34]
Contoh lain, untuk pembelajaran konsep gravitasi. Si pembelajar diminta untuk menjatuhkan bola dari ketinggian tertentu, bermain volley, basket, atau dan sebagainya. Setelah aktivitas tersebut dilakukan, si pembelajar akan dapat menyimpulkan bahwa setiap benda cenderung jatuh ke bawah dikarenakan adanya gaya tarik bumi (gravitasi). Peristiwa ini sesuai dengan gambaran dalam Surat Maryam ayat 25 dan Surat Al-An’am ayat 59. [35]
Melalui pendekatan lingkungan ini si pembelajar diajak memahami konsep sains dengan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan demikian si pembelajar diharapkan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya dan berawal dari pemahaman dan kepedulian itu mereka dapat mencari solusi, mengambil keputusan bijak selaku khalifah serta melakukan tindakan nyata apabila suatu ketika menghadapi masalah demi menjaga dirinya dan alam ini dari kerusakan.[36]
Sebagai suatu pengayaan dalam mempelajari Sains Islam bahwa penguasaan sains merupakan rahmat bagi pemahaman ayat-ayat kauniyah al-Quran dapat diperlihatkan dengan suatu contoh. Khususnya bidang fisika, yang merupakan dasar bagi ilmu kimia modern, dan bersama dengan ilmu kimia itu menjadi landasan bagi biologi modern, geofisika, dan bidang sains lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapannya di bidang astronomi dan kosmologi, fisika modern telah memperlihatkan kemampuannya untuk membekali kita dengan pengertian yang lebih baik dalam menafsirkan al-Quran. Sebagai contoh; pernyataan-pernyataan yang melukiskan proses penafsiran penciptaan alam merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan, karena tidak seorang pun pernah melihat alam ini tercipta, sedangkan keadaan kosmos pada waktu itu sangat berbeda dari keadaannya saat ini dikarenakan alam telah berevolusi kira-kira selama 12 milyar tahun.

E.     Kesimpulan
1.      Sains Islam menjadi wadah penghantar signal-signal keimanan dan ketauhidan, serta memberi impuls bagi manusia selaku khalifah agar senantiasa menjaga alam ini dengan  baik dan mengembangkannya dengan berbagai potensi yang dimiliki. Pendidikan sains yang dinamis dan bermuatan nilai-nilai keislaman seyogyanya mampu meminimalisir kekeliruan-kekeliruan dalam menafsirkan setiap gejala-gejala yang ditunjukkan alam, seperti sebagian besar teori yang dikemukakan para ilmuwan Barat non-muslim, dimana teori-teori tersebut dikembangkan disesuaikan dengan budayanya dan berbeda dengan budaya Islam.
2.      Ciri-ciri Sains Islam di antaranya: 1) Mengukuhkan iman, menguatkan akidah dan meneguhkan kepercayaan, 2) Sains dan ilmu pengetahuan merupakan asset peleburan amal shaleh untuk kebahagian akhirat, 3) Segala yang berlaku adalah ketentuan Allah swt termasuk fenomena pelik, ajaib dan aneh, 4) Sains Islam menekankan kepada aspek keberkatan ilmu dalam membolehkan seseorang ilmuan memiliki sifat arif dan bijaksana dan bebas dari sifat jahil,   5) Sains terikat dengan nilai akhlak yang ditentukan syariah berdasarkan kepada al-Quran dan al-Sunnah, 6) Kebenaran dalam sains dapat menemukan seseorang kepada hakikat kebenaran, dan 7) Segala yang wujud di alam nyata adalah suatu pernyataan organik yang saling memerlukan.
3.      Metodologi Pendidikan Sains Islam, adalah :
  1. Berpandangan bahwa setiap disiplin ilmu wajib dipelajari, karena menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim
  2. Memperbanyak membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan sains Islam
  3. Mempelajari ayat-ayat Kauniyyah

















DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta:                  PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Achmad Baiquni, Al-quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta:       PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2005.

Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2007.

Haji Lalu Ibrahim M. Thayyib, Keajaiban Sains Islam; Mengungkap Kebenaran Isi Al-quran dan Hadits dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Harun Yahya, Keajaiban di Balik Napas, Edisi VCD, Istanbul Turki: PT. Nada Cipta Raya, 2008.

Ismail Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar Utama, 2000.

John L. Esposito, Sains-Sains Islam, Jakarta : Inisiasi Press, 2004.

Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta : PT. Pustaka Cidesindo, 2000.

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Bandung : PT. Rajawali Pers, 2006.

Muhammad Qutb, Qabasat min al-Rasul, Makkah: Dar al-Syarqi, 1982.

Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan; Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.

Nasim Butt, Sains & Masyarakat Islam, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996.

Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

Saeful Karim, dkk. Belajar IPA Membuka Cakrawala Alam Sekitar, Jakarta:     PT. Widya Pustaka, 2008.

Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,  Pustaka Salma, 1981.

Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam & IPTEK I, Jakarta:         PT. RajaGrafindo Persada, 1998.

Uyoh Sadulloh, Filsafat Pendidikan, Bandung: ALFABETA, 2009.

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam                  Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung : Mizan Media Utama, 2003.

Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.




[1] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai, Bandung : Remaja Rosdakarya Offset, 2007, hlm. 43

[2] Achmad Baiquni, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 67-68

[3] Lihat: Uyoh Sadulloh, Filsafat Pendidikan, Bandung: ALFABETA, 2009, hlm. 44. Istilah “Common sense” sering dianalogikan dengan “good sense”. Karena seseorang dapat menerima sesuatu dengan baik. Semua orang mengatakan bahwa sesuatu merah karena memang merah adanya, suatu benda panas, karena memang dirasakan panas, dan sebagainya. Dengan common sense semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat menghilangkan rasa dahaga, makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan, dan sebagainya. Dengan kata lain, sains beranjak dari common sense; dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia, namun terus dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji.

[4] Uyoh Sadulloh, Filsafat …, hlm. 45

[5] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat…, hlm. 27

[6] Uyoh Sadulloh, Filsafat …, hlm. 43

[7] Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 72-98

[8] Lalu Ibrahim M. Thayyib, Keajaiban Sains Islam; Mengungkap Kebenaran Isi Al-Quran dan Hadits dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 29

[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2005, hlm. 6

[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 29
                                                                                                              
[11] Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,  Jakarta: Pustaka Salma, 1981
                                                                                                              
[12] John I. Esposito, Sains-sains Islam,  Depok: Inisiasi Press, hlm. v

[13] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 89

[14] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam & IPTEK I, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 74

[15] Muhammad Qutb. Qabasat min al-Rasul. Makkah: Dar al-Syarqi. 1982, hlm. 42-43.

[16] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Mengagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Yogyakarta: 2003, hlm. 205

[18] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975, hlm. 13.

[19] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …, hlm. 19

[20] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …, hlm. 21

[21] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …, hlm. 21

[22] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …, hlm. 22-27

[23] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …, hlm. 20-38

[24] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed m. Naquib Al-Attas, Bandung : Mizan Media Utama, 2003,  hlm. 120

[25] Nasim Butt, Sains & Masyarakat Islam, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996, hlm. 151

[26] Lihat Achmad Al-Baiquni, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan…, hal. 203. Einstein menyatakan bahwa alam melengkung sedemikian rupa sehingga ia menutup pada dirinya sendiri. Alam ini tidak terbatas, namun berhingga, bergantung pada besar jari-jarinya dan  bersifat statis, sekalipun ada gerakan-gerakan perubahan di dalamnya; secara keseluruhan alam semesta tidak berubah.

[27] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat…, hlm. 82

[28] Harun Yahya, Kejaiban di Balik Napas, Edisi VCD, Istanbul Turki: PT. Nada Cipta Raya, 2008.

[29] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat…, hlm. 83

[30] Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan …, hlm. 120


[31] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam …,  hlm. 80

[32] Kajian terhadap istilah-istilah dalam al-Quran dalam hubungannya dengan metode pengembangan ilmu pengetahuan banyak dibicarakan oleh para imuwan baik Barat maupun di Timur dan Indonesia. Para psikolog banyak berbicara tentang potensi ilmiah yang dimiliki manusia, seperti menangkap, menyerah, memahami, mengkategorisasi, mengklasifikasi, membedakan, menganalisis, dan menyimpulkan. Di Timur kita mengenal Muhammad Abduh, Ali Syari’ati, Husain Nasr dan sebagainya; berbicara tentang ilmu pengetahuan. Di Indonesia; A. Baiquni, Poeradisastra, Jalaluddin Rahmat, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefyddin, berbicara tentang pengembangan ilmu pengetahuan. A. Baiquni menyatakan bahwa kata intidzar dinisbahkan kepada upaya mengamati dan mengidentifikasi benda-benda fisik seperti yang dilakukan oleh al-Khawarizmi dalam ilmu fisika. Selanjutnya ia mengemukakan kata iqra’ dalam arti membaca baik yang tersurat maupun tersirat. Membaca dalam hal ini dapat diartikan memahami, mengidentifikasi, membedakan, mengklasifikasi, mengobservasi, dan sebagainya yang kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan.

[33] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2006, hlm. 50-51

[34] Saeful Karim, dkk. Belajar IPA Membuka Cakrawala Alam Sekitar, Jakarta: PT. Widya Pustaka, 2008.

[35] Lihat QS. Maryam : 25, ”Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” dan QS. Al-An’am : 59, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)". Lebih lanjut baca; Achmad Baiquni, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 79-97.

[36] Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat…, hlm. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar