Senin, 09 Januari 2012

DIKHOTOMI DAN INTEGRASI ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM


DIKHOTOMI DAN INTEGRASI ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.    Latar Belakang Masalah
Pada abad ke 6 - 12 M, dunia Islam mengalami supremasi kejayaan dan kemegahan peradaban, yang ditandai dengan maraknya kajian tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga Islam saat itu menjadi mercusuar dunia, baik di belahan Timur maupun Barat. Masa tersebut mampu memproduk para saintis dan filosof Muslim kelas dunia di berbagai bidang ilmu pengetahuan, bidang fiqih: Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal; bidang filsafat: al-Kindi,   al-Farabi, Ibnu Sina, dan Abu Yazid; bidang sains: Ibnu Hayyam, al-Khawarizmi, al-Razi, dan              al-Mas’udi. [1]
 Realisasi fenomena di atas dikarenakan ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama dipadukan sebagai satu totalitas dan integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya secara dikotomis. Posisi ilmu pengetahuan dan siapapun yang mencarinya  secara religious dipandang tinggi dan mulia. Mereka mengadakan eksplorasi dan invensi ilmu pengetahuan dan filsafat dengan tidak bertendensi pada persoalan materi semata, melainkan karena semangat religiusitas dan termotivasi oleh sebuah keyakinan bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian integral dari manifestasi aplikasi agama  atau perintah Allah. [2]
Namun sekitar pertengahan abad ke-12 M, kegemilang umat Islam di bidang keilmuan dunia, mulai bergeser dan sedikit demi sedikit menjauhi dunia Islam. Hal tersebut bermula sejak terjadinya disintegrasi pemerintahan Islam yang berakibat pada munculnya sekte-sekte politik yang sparatif-kontradiktif. Sebagian sekte, secara politis memproklamirkan tertutupnya pintu ijtihad dan menggiring umat pada pemaknaan agama yang eksklusif serta mengisolasikan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dimensi agama. Secara otomatis berimbas pada stagnasi sains Islam, serta berimplikasi pada kerapuhan dan kelumpuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan; baik militer, ekonomi, politik, maupun aspek keilmuan.[3]
Sekitar abad ke-18 M (periode modern), umat Islam mulai terbangun dari tidur panjangnya. Jatuhnya Mesir ke tangan bangsa Barat menyadarkan dan membuka mata umat Islam bahwa di Barat telah muncul peradaban baru yang lebih tinggi, sekaligus menjadi ancaman besar bagi umat Islam.[4] Mulai saat itu di kalangan intelektual Muslim ada yang berinisiatif untuk mempelajari ilmu pengetahuan Barat yang sekularistik dan rasional-materialistik serta terpisah dari semangat dan nilai-nilai moralitas Islam.
Persentuhan dunia Islam dengan ilmu pengetahuan Barat itu menimbulkan persaingan dan respon yang saling bersimpangan jalan di kalangan intelektual Muslim. Satu sisi mereka menampakkan sikap antagonistik-kontradiktif, bahkan menganggap ilmu pengetahuan Barat sebagai karya-karya buruk dan hampa dari nilai-nilai agama. Di sisi lain, adanya kelompok intelektual Muslim yang menunjukkan sikap protagonis-kompromistis, bahkan terpaku dan terjerembab dalam metodologi sekuler sains modern, seperti, Muhammad Hisyam Haykal, Thaha Husain, Ali Abdul Raziq.[5]
Kondisi demikian semakin mempertajam kesenjangan antara ilmu dan agama serta memperkuat dikotomi keilmuan (agama dan umum; klasik dan modern; ukhrawi dan duniawi) yang pada gilirannya merambat pada dualisme pendidikan. Di satu pihak, ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai Islam; di pihak lain, terdapat pendidikan yang hanya mendalami ilmu agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan modern. Kategori pertama hanya memproduk para saintis sekuler, sedangkan yang kedua hanya memproduk para agamawan yang berwawasan ekslusif dan memisahkan bahkan membuang jauh ilmu pengetahuan modern dari paradigma pemahaman dan pemaknaan agamanya. Mengomentari hal tersebut, Ahmad Watik Pratiknya menyatakan bahwa munculnya kecenderungan dikotomi sesungguhnya berangkat dari kegagalan manusia (Muslim) untuk memahami hubungan antara ilmu dan agama secara proporsional. [6]
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi telah mengantarkan manusia pada tingkat kesejahteraan material, namun disisi lain, paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan berbagai pendekatannya telah menyeret manusia pada kegersangan dan kebutuhan dimensi spiritual dan moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat akhir-akhir ini dapat dikatakan telah terjadi teknologisasi kehidupan dan penghidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sendiri dan makin terpisah jauh meninggalkan agama dan etika. Spektakulerisasi perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi bagian yang substantif dalam kehidupan manusia masa kini, dan telah menyentuh semua sendi kehidupan masyarakat yang secara ekstentif pada gilirannya merombak tatanan budaya manusia dengan intensif. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya memberi kebahagiaan bagi manusia, seperti; peledakan bom atom merupakan contoh penemuan tenaga nuklir yang disalahgunakan sehingga menimbulkan keresahan. Demikian pula halnya dalam bidang genetika; mulai mengembangkan teknologi bayi tabung dan cloning, dimana manusia dijadikan sebagai obyek penelitian. Fenomena ini mengindikasi adanya pemisahan tajam antara kehidupan dunia dan akhirat; yang berawal dari sistem pendidikan yang tidak terintegralisasi, melainkan bersifat dikotomis parsial.
Di satu sisi, ada sistem pendidikan tradisional khusus mempelajari ilmu keislaman secara sempit, hanya dari sisi hukum dan ibadah saja. Di sisi lain, adanya sistem pendidikan yang lebih menekankan pada ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi secara mentah begitu saja dari Barat.[7] Kedua sistem tersebut menimbulkan dualisme personalitas dalam tubuh Islam yang saling bertentangan. Untuk menghadapi hal ini, diperlukan adopsi disiplin-disiplin ilmu modern yang sekuler kepada wawasan Islami, dan diintegrasikan kembali pendidikan Islam yang telah bercorak dikotomis, yang menumbuhkan pribadi yang pecah di antara generasi muslim serta meletakkan ilmu pengetahuan ke dalam hukum Islam.
Menurut Haidar Bagir, “dikotomi dalam pendidikan Islam terjadi karena pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Pihak agamis beranggapan bahwa ilmu umum itu adalah bid’ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang kafir, sedangkan pendukung ilmu umum berpendapat ilmu agama sebagai pseudo ilmiah, atau kata lain sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah. Ini menyebabkan jarak antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh”. [8] Oleh karena itu integrasi antara keduanya merupakan solusi yang dapat ditawarkan guna menjawab kemelut fenomena dikhotomi  pendidikan Islam saat ini. Dengan kata lain integrasi ilmu merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar senantiasa dapat dikembangkan menembus waktu dan ruang tanpa adanya jerat dan aral yang menghadang langkah-langkah kemajuan manusia dalam mengaktualisasikan diri sebagai ‘abdun sekaligus khalifatullah  fil a’-Ardh.
B.     Sejarah Munculnya Dikhotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[9] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.[10] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) [11] Menurut al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. [12]
Berdasarkan sejumlah definisi dikotomi di atas, dapat disimpulkan bahwa dikotomi Islam merupakan dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya terletak pada dataran pemilahan tetapi memasuki ranah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). Kendatipun fenomena dikotomi menjadi problem kontemporer, namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga berdampak fenomenal saat ini.
Jatuhnya Bagdad ke tangan Hulagu Khan pada tahun 1258 M memberi dampak negatif terhadap tatanan sosial politik dunia Islam bahkan pada perkembangan intelektual umat Islam selama berabad-abad. Dari segi politik, dampak tercermin pada hancurnya khilafah sebagai lambang kekuasaan politik dan simbol kesatuan dunia Islam, serta munculnya suku Mongol non-muslim menggantikan bangsa Arab dan Persia dalam mengendalikan pemerintahan di wilayah dan bekas kekuasaan Islam. [13] Adapun di bidang intelektual, kemunduran terlihat dari kedinamisan berfikir serta semangat penelitian semakin hilang dan cahaya ilmu pengetahuan yang menyinari dunia Islam hampir padam sama sekali.[14] Refleksi dan kemunduran intelektual tersebut antara lain tampak dalam dua hal: Pertama; tertanamnnya sikap taklid pada Mazhab fikih dan terjadinya penyimpangan aqidah dalam berbagai bentuk. Kedua; kemunduran berfikir umat Islam tampak dengan terjadinya berbagai penyimpangan akidah yang antara lain tumbuh melalui organisasi tarekat yang berkembang dalam dunia Islam.
Untuk selanjutnya lembaga pendidikan Islam dianggap tidak mampu mengembangkan cara berfikir yang dinamis. Oleh karenanya kelumpuhan lembaga pendidikan yang terjadi saat itu dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: tujuan pendidikan Islam dan metode pengajaran yang diterapkan, disamping bahan pelajaran yang kurang melatih daya dan kemampuan berfikir. Walaupun pada abad ke-16 umat Islam mulai bangkit membangun kekuatan  di bidang politik, namun belum mampu mengangkat keterpurukan di bidang intelektual. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kekuatan politik yang tidak seimbang, pada akhirnya menghancurkan kekuatan politik dan menjatuhkannya ke bawah pengaruh kultur Barat. [15] Disinilah akar dikhotomi mulai dipancangkan dalam tubuh pendidikan Islam, walau pada dasarnya tidak dikenal adanya dikhotomi ilmu dalam Islam. Dimana Islam tidak pernah mendiskriminasikan ilmu satu dengan yang lain, karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan ilmu umum sama-sama bersumber dari Allah swt, [16]  hanya saja lesensi pengakuan kebenaran keilmuwan tersebut tergantung pada keimanan manusia yang mengembangkannya.
Muara terbentuknya dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam juga dikarenakan ide sebagian ilmuwan muslim untuk menuntut ilmu ke Barat setelah  jatuhnya Mesir ke tangan bangsa Barat sekitar abad ke-18 M. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat tentunya bercorak sekularisme, yang pada akhirnya berdampak terhadap “deislamisasi pikiran umat Islam”. Hal ini berpengaruh pada terbentuknya proses pendidikan yang bebas nilai (netral) sebagaimana yang dikembangkan Barat. [17]
Di Indonesia khususnya, sejarah munculnya dikhotomi pendidikan berawal sejak datangnya Belanda menjajah belahan bumi Nusantara ini. Pendidikan kolonial yang dikelola oleh pemerintah Belanda untuk anak-anak bumiputra ataupun diserahkan kepada misi dan zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad ke-20 telah menyebar di beberapa kota, baik tingkat pendidikan dasar sampai ketingkat atas yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Oleh karenanya, pada masa ini terbentuk dua model pendidikan, yaitu: Pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, baik dari segi tujuan maupun kurikulumnya. Dimana pendidikan kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial yang sekuler dan bertujuan menyebarkan budaya Barat. Hal ini merupakan bentuk dari Politik Etis yang disebut Politik Asosiasi Belanda bagi pribumi, di samping dididik mereka juga ditargetkan untuk berbudaya Barat sebagai upaya balas keuntungan material yang mereka peroleh dengan menjajah Indonesia.  Pada hakikatnya hal tersebut merupakan usaha westernisasi yang menarik penduduk kepada golongan pemuja Barat dan menyudutkan Islam karena lebih diperkenalkan dengan ilmu dan kebudayaan sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama. [18]
Pada akhirnya pendidikan di Indonesia saat itu, terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Setelah kemerdekaan, dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Hal ini sebagaimana dikemukakan Al-Faruqi bahwa, pandangan masyarakat tentang Islam telah dibutakan oleh pandangan yang dibawa para penjajah. Pandangan ini terus berkembang sampai kepada beberapa generasi walaupun penjajah telah pergi, bahkan lebih berbahaya. Keadaan ini berpengaruh pada seluruh aspek hidup masyarakat, manusia,  dan alam nyata. Selanjutnya Al-Faruqi menyatakan bahwa faktor utama penyebaran pandangan asing ini adalah menduanya sistem pendidikan. Pertama, sistem pendidikan “modern” dan kedua sistem pendidikan “Islam”. Dualismenya sistem pendidikan ini melambangkan kejatuhan umat Islam. [19]

C.    Dampak Dikhotomi Pendidikan Islam

Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:
1). Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut. [20]  
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer. [21]  
Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler. [22]  
2). Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin. Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam. Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam. [23]
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik. [24]
Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi –juga- karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya. [25] Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol jatuhnya umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup; dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif terhadap kemajuan Islam. [26]
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:
1.   Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil adin tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
2.   Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
3.   Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya atau egoisme.
4.   Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikhotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan dan agama. [27]


D.    Solusi dalam Upaya Membendung Dikhotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam

Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dualisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diislamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. [28]  Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia. [29] Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah Islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekuler dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses Islamisasi ilmu.
Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan melebur dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem pendidikan yang berwawasan Islam. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem dikotomi sistem pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat. Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan Barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan dengan pesan al-Quran dan al-Hadits. [30]
Selanjutnya Faisal Ismail mengemukakan bahwa, arus dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam dapat dibendung dengan beberapa hal, sebagai berikut.
1.   Memperkuat dan memberdayakan pendidikan spiritual-keimanan pada setiap jenjang pendidikan untuk mencegah sekulerisasi IPTEK dan pendidikan.
2.   Menghindari pandangan pragmatis-hedonis-permisif yang berasumsi apa saja boleh dilakukan (permisif, ibahah). Pandangan ini dapat membuat seseorang longgar dalam beragama.
3.   Menggunakan metode dan pendekatan keagamaan dalam pelaksanaan pendidikan.
4.   Menghindari pendidikan berpaham antroposentris yang berdalil bahwa manusia adalah pusat segalanya.
5.   Menghindari paham scientism (saintisme) yang berdalil bahwa ilmu pengetahuan merupakan tolak ukur kebenaran.
6.   Menolak paham agnotisme dalam pendidikan, “percaya kepada Tuhan tidak, tidak percaya juga tidak” sikap acuh tak acuh yang bersikap masa bodoh akan keberadaan Tuhan.
7.   Menanamkan kesadaran untuk menjauhkan pandangan “science for the sake of science” (ilmu untuk ilmu) karena tidak sejalan dengan Islam.
8.   Melakukan penelitian murni (pure-research) yang menghantarkan seseorang kepada pengertian bahwa di balik setiap sesuatu yang diteliti dan diperoleh dari hasil penelitian tersebut ada Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan Maha Segalanya yang mengatur dan mengendalikan alam ini. [31]

E.     Integrasi Ilmu dalam Pendidikan Islam
Dalam hal ini penulis menggunakan istilah islamization dalam mengangkat konsep integrasi ilmu dalam pendidikan Islam. Maka, definisi dari islamisasi dalam makna yang luas menunjukan pada proses pengislaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Dalam kontek islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al almi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Wacana tentang integrasi antara ilmu dan agama sesungguhnya sudah muncul cukup lama, mesti tidak menggunakan kata integrasi secara ekplisit, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dengan wahyu (iman) sudah cukup lama beredar. Cukup populer juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated.
Upaya pembendungan dikhotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme. [32]
1.   Islamisasi Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan. [33]
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi dan     Al-Attas. Adapun empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam. [34]
2.   Islamisasi Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi. [35]
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti bersikap ilmiah, rasional,  menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan. [36]
3.   Islamisasi Model Neo-Modernisme
Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK.
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut, (e) al-Quran berfungsi evaluatif, legitimatif hingga pada tahap pemberi landasan dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi. [37]
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata rantai dikhotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku seorang pendidik, kita memahami krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar dapat menghindari keberlanjutan praktik dikhotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang digeluti.

F.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut.
1.      Dikhotomi dalam pendidikan Islam merupakan  dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya terletak pada dataran pemilahan tetapi memasuki ranah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).
2.      Secara umum dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah terindikasi pada abad ke 12 M sejak jatuhnya Baghdad, namun umat Islam baru menyadari keterpurukan ini pada abad 18 M yang dikatakan sebagai periode modern. Dimana pada saat itu sebagian golongan intelektual muslim berinisiatif untuk menuntut ilmu yang bernuansa sekuleristik di Barat guna memperbaiki tatanan kehidupan dan ketertinggalan umat saat itu.
3.      Integrasi Ilmu dalam Pendidikan Islam dapat dilakukan melalui tiga model, yang lebih dikenal dengan  tiga model Islamisasi pengetahuan, yaitu : Model Islamisasi Purifikasi, Model Modenisasi Islam, dan Model Neo-Modernisme.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Ahmad Watik Pratiknya. “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”; dalam Muslih (Ed.). Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991.

Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. 

Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Jakarta : PT. Bakti Aksara Persada, 2003.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Isma’il Raji al-Faruqi, Science and Traditional Values in Islamic Society, dalam Zygon; Journal of Religion and Science, Vol. 2 Nomor 3, 1967.

--------------------------, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. A. Mahyudin. Bandung: Pustaka. 1984.

--------------------------, Kata Pengantar, dalam buku Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, Jakarta: Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar, 2000. 

--------------------------, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan Hemdon : HIT, 1982.

Jalaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992.

M. Shofan. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004.

Muhaimin, Redefenisi Islamisasi Pengetahuan; Upaya Menjelajahi Model-model Pengembangannya, dalam buku Quo Vadis Pendidikan Islam (Ed) Mudjia Rahardjo, Malang :Cendikia Paramulya, 2002.

------------, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006.

Muhammad Fahmi. Konsep Pendidikan Isma’il Raji Al-Faruqi: Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Tesis. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. 2006.

Muhammad Quth, Qabasat min al-Rasul, Makkah : Dar al-Syarqi, 1982.

Osman Bakar. Tauhid dan Sains. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1991.

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib       Al-Attas, Bandung : Mizan Media Utama, 2003.





[1] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975, hlm. 13.
[2] Muhammad Qutb. Qabasat min al-Rasul. Makkah: Dar al-Syarqi. 1982, hlm. 42-43.


[3] Harun Nasution. Pembaharuan …, hlm. 13.
[4] Isma’il Raji al-Faruqi, Science and Traditional Values in Islamic Society, dalam Zygon; Journal of Religion and Science, Vol. 2 Nomor 3, 1967, hlm. 23

[5] Osman Bakar. Tauhid dan Sains. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1991, hlm. 220.

[6] Ahmad Watik Pratiknya. “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”; dalam Muslih (Ed.). Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991, hlm. 104.

[7] Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. A. Mahyudin. Bandung: Pustaka. 1984. hlm. 12

[8] Haidar Bagir, Integrasi Ilmu, 2005, hlm. 20



[9] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992, hlm. 180.

[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989, hlm. 205.

[11] Ahmad Watik Pratiknya. “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”; dalam Muslih (Ed.). Pendidikan …, hlm. 104.

[12] Isma'il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan Hemdon : HIT, 1982, hlm. 37.



[13] Banyak faktor yang menyebabkan mundurnya pemikiran umat Islam yang telah dimulai sebelum jatuhnya Bagdad. Salah satu di antaranya adalah penghapusan Mazhab Mu’tazilah sebagai Mazhab resmi Negara dalam kerajaan Abbasiyah. Penekanan dan kekerasan yang dilakukan oleh Khalifah Mutawakkil (847-861 M) kepada penganut Mazhab tersebut secara tidak langsung mematikan semangat intelektual dan kebebasan berfikir kaum Mu’tazilah yang banyak memberikan andil dalam dunia ilmu pengetahuan pada saat itu. Lihat, Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 21.

[14] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 3

[15] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 19 

[16] Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dalam Ilmu Umum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 83

[17] Wan Mohd  Nor Wan Daud,  Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung : Mizan Media Utama, hlm. 330-332

[18] Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.  hlm.  144

[19] Ismail Al-Faruqi, Kata Pengantar, dalam buku Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, Jakarta: Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar, 2000.  hlm.  VIII - IX

[20] Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu ..., hlm. 40-41.
[21] Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu ..., hlm.  41-42.


[22] M. Shofan. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004, hlm. 10-12.

[23] Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu ..., hlm. 48-49.
[24] Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu ..., hlm. 50-51

[25] Shofan. Pendidikan Berparadigma…., hlm. 10-12.  
[26] Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu …, hlm. 151-152

[27] Lihat lebih lanjut gambaran detail dari dampak dikhotomi bagi 3 aspek tersebut, dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terj. Mustafa Kasim, Jakarta: Dewan Bahasa & Pustaka Malaysia dan Penerbit Lontar, 2000.  hlm.  2 - 6

[28] Ismail Al-Faruqi. Islamisasi Ilmu ..., hlm 55-96.

[29] Jalaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999. 160.


[30] Muhammad Fahmi. Konsep Pendidikan Isma’il Raji Al-Faruqi: Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Tesis. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. 2006.


[31] Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Jakarta : PT. Bakti Aksara Persada, 2003, hlm. 42-45

[32] Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu …, hlm. 143-145

[33] Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006,  hlm. 61

[34] Muhaimin. Nuansa Baru …,  hlm. 61-62


[35] Muhaimin, Redefenisi Islamisasi Pengetahuan; Upaya Menjelajahi Model-model Pengembangannya, dalam buku Quo Vadis Pendidikan Islam (Ed) Mudjia Rahardjo, Malang :Cendikia Paramulya, 2002, hlm. 234-235

[36] Muhaimin. Nuansa Baru …,  hlm. 62 - 63


[37] Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu …, hlm. 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar