ISU-ISU
DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Proses pembelajaran merupakan suatu
sistem instruksional mengacu pada pengertian sebagai seperangkat komponen yang
saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar
tujuan dapat tercapai dengan baik, maka seluruh komponen yang ada harus dapat diorganisasikan
sehingga setiap komponen mampu bekerjasama dalam proses pembelajaran.
Baik itu peserta didik, lingkungan sosial budaya, ekonomi orang tua, dan selainnya.
Lebih lanjut Djamarah (2002 :
141) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan jiwa raga
untuk memperoleh suatu peruahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu
dalam interaksi dengan lingkungannya, menyangkut; kognitif, afektif dan
psikomotor.
Berbicara
mengenai isu-isu yang terlibat dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Suryabrata
(1995 : 249) meliputi:
1. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, yang
dikategorikan kepada dua faktor; yaitu faktor sosial dan non-sosial.
2. Faktor-faktor yang berasal dari daam diri pelajar;
yang dikategorikan kepada faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Pembahasan makalah ini lebih terarah pada
faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa, terutama faktor
sosial. Suryabrata (1995 : 250) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan faktor
sosial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir)
maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan (tidak langsung hadir). Faktor-faktor
sosial ini kerap menjadi isu-isu yang hangat diperbincangkan sehubungan dengan
dampak yang ditimbulkan dalam proses pembelajaran. Di antara dari sekian banyak
contoh faktor sosial tersebut, konflik keluarga yang berdampak pada psikologis
anak, kondisi perekonomian orangtua
yang tidak mencukupi sehingga si anak mengalami gangguan psikis sehingga bepengaruh pada prestasi belajarnya, serta sosial budaya merupakan tiga fenomena isu
yang paling dominan memberi pengaruh terhadap stabilitas belajar anak.
A.
Kultur Budaya (Cross Culture)
Istilah
cultur berarti “kebudayaan” yang berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah
yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.
Soekanto (t.t : 172) mendefinisikan kebudayaan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Selanjutnya Soekanto menyatakan bahwa seorang antropolog; E.B Tylor
pernah mencoba memberikan definisi kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan
adalah kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat
istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup
kesemua hal
yang didapati atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan terdiri
dari berbagai pola-pola prilaku normatif; mencakup
segala cara atau pola fikir, merasakan dan bertindak. Kebudayaan berperan penting sebagai figur
dan sarana drill dalam membentuk budaya belajar anak, sebagai contoh: anak akan
rajin beribadah karena kesehariannya dalam keluarga dibudayakan wajib ibadah.
Selain itu stabilitas tingkat ketaatan ibadah anak tersebut juga turut didukung
oleh sekolah bahkan masyarakat. Jika hanya keluarga yang membudayakan hal
demikian, namun tidak ada dukungan dari lingkungan sekolah dan masyarakat,
belum tentu stabilitas ibadah itu dapat terjaga sesuai harapan, terkecuali
orangtua melakukan pemantauan secara maksimal.
Har Tilaar (2000 : 39) menguraikan secara sederhana,
defenisi kebudayaan yang berindikasi dengan proses pembelajaran, sebagai
berikut.
a. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang
kompleks. Dimana kebudayaan berarti suatu kesatuan, bukan jumlah dari
bagina-bagian. Keseluruhannya memiliki pola-pola atau desain tertentu yang
unik. Setiap kebudayaan memiliki mozaik yang spesifik.
b. Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi
manusia yang amaterial artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis seperti
ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, dan sebagainya.
c. Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik
seperti hasil seni, terbentuknya kelompok-kelompok keluarga.
d. Kebudayaan dapat pula berbentuk
kekakuan-kekakuan yang terarah seperti: hukum, adat-istiadat yang
berkesinambungan.
e. Kebudayaan merupakan suatu realitas yang
objektif, dan dapat dilihat.
f. Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.
g. Kehidupan tidak terwujud dalam kehidupan
manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup di dalam suatu masyarakat
tertentu.
Kebudayaan
(kultur) juga merupakan pola hidup dalam suatu masyarakat
di
lingkungan tertentu yang mencerminkan adat dan kebudayaan setempat. Dalam
tinjauan psikologi, kebudayaan turut berperan dalam mempengaruhi proses belajar
anak. Seumpama, bila seorang siswa tinggal dalam lingkungan berbudaya primitif
atau pedalaman, maka pertumbuhan psikis anak akan melambat dan mempengaruhi proses
pembelajaran anak di sekolah, keluarga maupun di masyarakat. Lingkungan yang demikian, ibarat suatu
masyarakat yang tinggal di suku-suku pedalaman yang sering menimbulkan pertentangan dan permusuhan antar sesama. Hal ini akan berdampak
pada psikis anak sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajarannya.
Namun
sebaliknya, jika seorang anak tinggal di lingkungan masyarakat berbudaya kasih
sayang yang sangat kuat dan mendapat perlakuan yang cukup baik, sehingga anak
tidak tidak mengalami tekanan mental dan tumbuh cepat dalam perkembangannya,
maka anak akan terbentuk dan berprilaku penuh kasih sayang dan perhatian
(Mahfudz, 2001: 39).
Beberapa gambaran contoh budaya yang berdampak pada
psikis belajar anak tersebut
merupakan isu krusial yang seyogyanya diperhatikan secara signifikan dalam proses pembelajaran. Gambaran lain dampak budaya terhadap
psikis belajar anak; kadangkala ditemui seorang anak terlihat murung dan tertutup
dalam belajar di sekolah disebabkan oleh lingkungan masyarakat yang tidak
kondusif, sering terjadi tindak pidana kejahatan, pemberontakan dan sebagainya yang
berdampak pada ketertekanan mental anak bahkan terkadang berubah menjadi
penakut saat belajar. Kondisi seperti ini secara realita dapat dibuktikan pada
masa konflik yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu, dimana dalam
situasi tersebut anak kurang termotivasi dalam belajar karena diselimuti rasa
cemas dan takut sehingga memilih tidak bersekolah, jikapun bersekolah tidak
fokus dan cemas dengan kondisi tersebut. Namun jauh berbeda dengan kondisi
belajar anak saat pasca perdamaian di Aceh. Budaya damai yang disepakati tersebut akhirnya
meruntuhkan pilar-pilar ketakutan dan kecemasan belajar anak, walaupun
terkadang masih ada di antara mereka yang mengalami trauma. Namun dengan
pendidikan dan motivasi yang kontinu anak akan dapat beraktivitas sesuai dengan
budaya yang dibiasakan dalam kesehariannya.
Di
samping hal tersebut, budaya yang dibangun di lingkungan sekolah juga sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Ketidakdisiplin sekolah, mental
guru yang kasar dan menakutkan, serta letak sekolah
yang dekat dengan perkotaan yang ramai serta berbudaya bebas, secara otomatis dapat mengganggu perhatian anak dalam belajar. Perhatian
anak akan beralih kepada hal-hal yang berada di luar sekolah dan merusak
konsentrasi belajar.
Demikian pula halnya kebersihan dan keindahan sekolah,
halaman dan ruang kelas, terkadang juga kerap tidak menstimulus gairah anak
dalam belajar. Selain itu, siswa tidak bersemangat belajar dikarenakan ruang kelas
yang sempit dan sinar matahari tidak masuk ke dalamnya dengan baik (Ali Bahari,
2002 : 29). Fenomena lain yanf paling
sederhana, apabila pelaksanaan disiplin sekolah kurang baik, moral guru yang tidak mendukung dengan menunjukkan budaya malas saat mengajar, hal-hal ini tentunya akan berpengaruh bagi pembentukan karakter anak. Dampak
dari fenomena yang demikian, anak akan senantiasa melakukan tindakan-tindakan yang melanggar disiplin sekolah saat proses pembelajaran sehingga dapat menghambat kesuksesan belajar, anak akan
sering terlambat ke sekolah, tidak membawa perlengkapan belajar, tidak
mengerjakan tugas dan kerap mengganggu ketertiban sekolah. Tindakan-tindakan tersebut,
akan menghambat kesusksesan belajar anak dikarenakan kurangnya motivasi pembentukan karakter yang positif. Hal ini senada dengan
pernyataan Soejanto (t.t : 55), yang mengemukakan bahwa ”budaya disiplin di sekolah merupakan kunci sukses, karena dengan disiplin, orang akan berkeyakinan bahwa
disiplin akan membawa manfaat yang dibuktikan dengan tindakan disiplinnya
sendiri”.
Kondisi-kondisi tersebut di atas merupakan hal-hal yang patut harus
diperhatikan kepala sekolah dan guru selaku tim pelaksana
pendidikan di sekolah guna menghindari timbulnya
sejumlah kendala yang kerap mengganggu
efektivitas belajar anak.
Berdasarkan uraian di atas dapat simpulkan bahwa
lingkungan budaya, baik
dalam masyarakat, sekolah maupun keluarga merupakan faktor penting yang memberi pengaruh
signifikan dalam proses
pembelajaran anak demi
perkembangan fisik dan psikisnya yang baik untuk masa mendatang. Kesadaran anak akan terbentuk dan sangat dipengaruhi oleh kultur
budaya yang dibina dan dimodelkan pendidik, sehingga menjadi pemicu ada tidaknya minat belajar anak dalam proses pembelajaran. Jika kultur budaya yang dibina positif, tentu sang
anak akan berkembang ke arah yang positif, demikian pula sebaliknya.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa budaya
sangat menentukan pembentukan karakter anak dalam belajar. Tiga komponen penting
yang menjadi tri pusat pendidikan, yaitu; keluarga, sekolah, dan masyarakat,
merupakan tim pelaksana dan pengukir hasil-hasil belajar anak. Oleh karena itu,
ketiganya memiliki peranan yang signifikan dalam menentukan proses dan hasil
belajar anak.
Mahfuzh (2001 : 195) menegaskan hal di atas dengan
menyatakan bahwa jika rumah merupakan tempat dimulainya pendidikan, maka
sekolah merupakan lingkungan yang menengahi antara lingkungan keluarga dan
masyarakat luas dimana seseorang hidup, berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Maka tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa segala tanggungjawab hanya
berada di pundak salah satu dari ketiga lingkungan tersbut. Ketiga lingkungan
ini memiliki tanggungjawab yang sama, terlebih di era globalisasi saat ini
dimana seorang ibu kerap disibukkan dengan karir di luar rumah sehingga tidak
punya waktu luang untuk mendidik anak-anaknya, sehingga isu-isu seputar
merebaknya pengaruh buku-buku bacaan, majalah, radio, televisi, dan teknologi
lainnya terhadap perkembangan psikis dan pembelajaran anak pun tidak dapat
terelakkan.
Beranjak dari hal tersebut, lembaga pendidikan Islam
berasrama semisal pesantren menjadi pilihan tepat untuk membudayakan belajar,
karena lingkungan di lembaga tersebut tentunya memiliki pola belajar yang
terkoordinir dengan baik dalam seluruh aspek diri siswa, dimana tri pusat
pendidikan terkumpul dalam satu lembaga terkait dan berkesinambungan dalam
proses pembelajaran anak sehingga anak tidak merasa bingung dalam menentukan
jati diri sebagai salah satu komponen hasil belajar yang harus diraih anak.
Beberapa komponen pendukung yang berperan sebagai
motor dan model pembentuk budaya belajar anak yang baik ataupun sebaliknya
adalah: 1) budaya belajar yang dibiasakan di rumah, 2) sekolah (kepala sekolah,
guru dan seluruh pihak yang terlibat langsung dengan anak), 3) masyarakat, dan
4) media (TV, majalah, Koran, dan sebagainya). Keempat aspek ini dirasa
berperan penting dalam mewujudkan pembelajaran yang ideal, sehingga terhindar
dari isu-isu negatif yang mempengaruhi proses pembelajaran itu sendiri.
1. Budaya Keluarga
a. Fasilitas
b. Perhatian (empati dan kehirauan)
2. Budaya Masyarakat (dukungan sosial)
3. Budaya Luar
B.
Konflik Keluarga
1. Keluarga
utuh
2. Single
Parent (Yatim, Piatu atau Yatim Piatu)
Konflik disharmonisasi yang
terjadi dalam keluarga dapat berakibat fatal bagi perkembangan dan
pertumbuhan seorang anak khususnya dalam proses pembelajaran. Banyak dampak yang dapat ditimbulkan dalam proses pembelajaran karena
dipicu oleh konflik keluarga. Dampak-dampak tersebut adalah:
1.
Tekanan mental anak
Disharmonisasi dalam keluarga mengakibatkan tekanan mental psikis anak, sehingga
dalam
keseharian sang anak kurang bersemangat untuk berinteraksi dan
bersosialisasi. Selain itu, tekanan mental ini juga dapat menyebabkan kemurungan,
sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat (2002 : 116) bahwa “disharmonisasi yang
terjadi dalam sebuah keluarga akan membuahkan tekanan mental pada anak, sehingga
menganggu suasana belajar anak”.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa
disharmonisasi keluarga dapat menimbulkan tekanan mental pada diri anak sehingga
anak kurang bersemangat dalam belajar dan menunjukkan sejumlah gejala konflik
psikis pada dirinya saat belajar; seperti; diam, murung, ketakutan, kecemasan,
kurang bersemangat, tidak termotivasi, dan sebagainya. Tekanan mental yang
demikian merupakan salah satu gangguan psikologi yang disebabkan oleh
disharmonisasi keluarga.
2.
Kurang minat untuk belajar
Disharmonisasi dalam keluarga juga turut
mempengaruhi minat belajar anak. Dalam arti kata, anak tidak
memiliki keinginan yang kuat untuk belajar sehingga berpengaruh pada stabilitas
belajarnya, baik di sekolah, keluarga, maupun dalam masyarakat. Hal ini dipicu
oleh konflik yang terjadi dalam keluarga, sehingga pada akhirnya proses
pembelajaran anak terganggu dan orangtua dapat dikatakan tidak menjaganya
dengan baik. Padahal, Islam mewajibkan orangtua untuk menjaga anak sebagai amanah yang diberikan Allah
swt.
3.
Kurangnya prestasi belajar
Dalam tinjauan psikologi,
pengaruh dari disharmonisasi keluarga akan berdampak negatif pada mental anak yang
berujung pada rendahnya prestasi belajar. Sehubungan dengan pengertian
prestasi, dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai “jenjang yang diperoleh
seseorang”. Selanjutnya,
Poerwadarminta (1976 : 654) mendefinisikannya sebagai “hasil yang didapati
siswa selama belajar”. Dengan demikian jelas bahwa faktor disharmonisasi akan
berdampak buruk bagi hasil yang diperoleh siswa dalam belajar.
Lebih jauh Thoha (1993 :
55) menguraikan tiga faktor yang sekiranya mempengaruhi peningkatan prestasi anak dalam belajar, yaitu:
a.
Faktor
Psikologis
Prestasi
belajar anak sangat ditentukan oleh kondisi psikologis atau kejiwaannya.
Kondisi psikologis yang tenang, akan menghasilkan fikiran yang rasional,
sehingga prestasi dapat diraih sesuai harapan. Suasana jiwa yang tenang akan
memotivasi anak berfikir dengan baik terhadap segala aspek yang terkait dengan
proses belajarnya di sekolah, demikian pula sebaliknya.
b.
Faktor
Keluarga
Keluarga
merupakan tempat belajar pertama bagi anak tentang segala hal. Pola pikir orangtua
secara perlahan mewarnai pola pikir anak dan mengkonstruksi karakter dirinya.
Bila orangtua memandang setiap masalah dari sudut pandang yang positif dan
objektif, maka hal tersebut akan membentuk pola pikir yang positif bagi sang
anak di masa mendatang, begitu pula sebaliknya (Thoha, 1993 : 56).
c.
Faktor
Kebudayaan
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, kebudayaan dan lingkungan tempat anak berproses
untuk tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor penting dalam upaya
pembentukan prestasi anak
Dengan demikian, ketiga faktor inilah hal-hal yang mempengaruhi
proses belajar siswa menurut
Thoha dan ketiganya merupakan isu-isu yang kerap dijadikan biang atas ketidaksuksesan
proses dan hasil belajar.
C. Ekonomi Orangtua
1. Keluarga ekonomi rendah
2. Keluarga ekonomi menengah
3. Keluarga ekonomi mapan
Isu ketiga setelah sosial budaya dan konflik keuarga, ekonomi
juga merupakan komponen penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Dimana suatu proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dengan adanya dukungan ekonomi
yang memadai. Ekonomi bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan belajar
siswa, namun tidak dapat dipungkiri pentingnya konstribusi ekonomi dalam proses
pembelajaran tersebut; yakni sebagai komponen penggerak kontinuitas pendidikan
anak.
Latar
belakang keluarga yang berpendapatan cukup atau tinggi, pada umumnya akan lebih
mudah memenuhi segala kebutuhan pendidikan dan keperluan anak. Berbeda halnya
dengan keluarga berpenghasilan
relatif rendah, akan mengalami
kesulitan dalam pembiayaan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan anak. Fenomena ini sebagaimana dikemukakan Hamalik (1983 : 30) bahwa “keadaan
sosial ekonomi yang baik dapat perbegaruh pada menghambat ataupun mendorong anak
dalam proses pembelajaran”.
Berbicara
tentang keterbatasan ekonomi orangtua, tentunya terkait dengan
eksistensi dan kontinuitas pendidikan anak. Sebagai gambaran, anak yang berasal dari latar belakang keluarga
ekonomi rendah akan mengalami depresi mental dan tekanan psikis efek dari ketidakmampuan
orangtua dalam mencukupi setiap kebutuhannya layaknya anak lain. Sang
anak akan merasa
terkucilkan dan kerap diolok-olok teman dan terkadang mendapatkan
teguran dari guru terkait dengan financial. Realita ini sudah barang tentu dapat
mengganggu proses pembelajaran anak dan berdampak
negatif bagi perkembangannya. Selain itu, anak akan dibayang-bayangi oleh masalah
yang sedang dihadapinya sehingga psikisnya dapat terganggu dan menarik diri
dalam eksistensi belajar.
Dengan
demikian, perekonomian keluarga turut menentukan eksistensi belajar dan atau
menjadi salah satu sumber kekuatan proses pembelajaran anak, karena kurangnya
biaya pendidikan akan berdampak bagi proses pendidikan anak yang sedang atau
akan dijalaninya. Fakta bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga ini berpengaruh
tinggi terhadap pembelajaran anak di sekolah, dikarenakan segala kebutuhan anak
yang berkenaan dengan pendidikan akan membutuhkan sosial ekonomi orangtua dan keadaan ekonomi ini berhubungan erat dengan belajar anak. Misalnya; dalam hal pakaian, perlindungan kesehatan, dan fasilitas belajar seperti; ruang
belajar, penerangan, alat tulis, buku, dan lainnya, keterpenuhan seluruh faktor penunjang pembelajaran tersebut tentunya
membutuhkan financial yang terkait dengan perekonomian keluarga (Slameto, 2003 : 63).
Hal senada dikemukakan Lipsey dkk (2001 : 103) bahwa “proses pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila perekonomian sebagai pendukung
pendidikan dapat terpenuhi dengan baik pula.
Sebuah rumah tangga adalah semua orang yang hidup di bawah sebuah atap dan yang
membuat keputusan keuangan bersama”. Tidak semua anak dapat belajar dengan baik, disebabkan proses
pembelajaran tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Slameto (2004 : 49) menyebutkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah: faktor intern dan faktor
ektern. Dimana keduanya saling mempengaruhi dan saling
memberi konstribusi terhadap proses pembelajaran.
Oleh karena itu, seorang pembelajar akan memperoleh hasil yang baik, jika kedua
faktor tersebut dapat terjaga, diatur, dipelihara, dan terjalin dengan baik sehingga
berdampak positif terhadap eksistensi belajar anak sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya.
Berdasarkan
pembahasan di atas, jelas bahwa kondisi perekonomian keluarga sangat berpengaruh
terhadap keberlangsungan belajar
anak. Karena bagaimanapun, kemiskinan akan menimbulkan berbagai macam kendala
dalam memenuhi berbagai kebutuhan belajar; seperti; ketidakmampuan dalam
membayar SPP, buku, alat tulis, bahkan seragam. Keadaan ini akan mempengaruhi
proses pembelajaran yang diselenggarakan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Sebagai
pengayaan, pada dasarnya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses
pembelajaran anak sebagaimana yang dikemukakan Slameto (2004 : 39). Ketiga faktor tersebut, adalah, faktor jasmani, faktor psikologi dan faktor
kelelahan”. Namun faktor-faktor ini merupakan faktor intern yang berasal dari
dalam diri siswa, sehingga tidak dijelaskan secara detail. Sebab pembahasan
terfokus pada faktor eksternal siswa.
Demikianlah pemaparan singkat yang dapat disajikan dalam
ruang lingkup isu-isu yang terlibat dalam proses pembelajaran anak dan menjadi
tolak ukur keberhasilan pendidikan anak pula. Namun demikian, pada dasarnya
isu-isu tersebut tidak hanya terpaku pada tiga komponen yang dijelaskan pada
makalah ini. Dimana masih banyak diwacanakan isu-isu lainnya, seperti: gejala
alam, bencana, media dan teknologi elektronika, cuaca, dan sebagainya. Oleh
karena itu hendaknya para pembaca dapat menggali lebih mendalam pada
referensi-referensi lain yang relevan dengan objek kajian ini.
D. Kesimpulan
Dari
hasil pemaparan ketiga isu yang terlibat dalam proses pembelajaran di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai
berikut.
1.
Isu-isu seputar proses pembelajaran yang mempengaruhi psikologi
belajar anak, diantaranya meliputi; kultur budaya, konflik keluarga, dan
keterbatasan ekonomi orangtua.
2.
Kultur budaya merupakan komponen penting dalam membentuk karakter
dan perkembangan jiwa belajar anak. Tri pusat pendidikan, yaitu; keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam hal ini
berperan sebagai model dan penentu arah budaya yang akan diperoleh anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, perkembangan fisik dan psikis anak sangat
dipengaruhi oleh ke tiga komunitas lingkungan tersebut. Dimana Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika didukung dengan kultur
budaya setempat yang sejalan dengan budaya yang
dibina oleh sekolah
dan keluarga. Ketiganya
memikul tanggungjawab yang sama dan saling berkesinambungan guna mencapai hasil
pembelajaran yang diharapkan.
3. Konflik keluarga juga tidak luput menjadi
salah satu isu yang turut mempengaruhi efektifitas pembelajaran anak. Tatkala
anak hidup di sebuah keluarga yang broken home misalnya, maka sang anak
akan menunjukkan sejumlah gejala konflik psikis dari dirinya saat belajar,
seperti; diam, murung, kurang bersemangat, tidak termotivasi, dan sebagainya. Disharmonisasi
dalam keluarga juga menentukan motivasi dan efektifitas perkembangan belajar anak.
4.
Perekonomian keluarga turut memberi andil dalam
eksistensi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Sehubungan dengan
keterpenuhan berbagai faktor penunjang stabilitas belajar, seperti: SPP,
pakaian, buku, alat tulis, ruang belajar, dan kebutuhan belajar lainnya.
Kemiskinan akan menghambat sejumlah mata rantai eksistensi belajar anak,
sebaliknya keluarga yang berpendapatan cukup hingga menengah ke atas tidak
terkendala dalam mencukupi setiap kebutuhan belajar anak tersebut.
5.
Ke tiga isu tersebut menjadi titik penting dalam menentukan proses dan keberhasilan
belajar. Walaupun tidak semua isu tersebut dapat berdampak negatif terhadap
proses belajar anak, namun secara umum ketiga isu tersebut merupakan faktor
utama yang mempengaruhi proses belajar anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Dessy. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Surabaya : Amelia, 2005.
Bahari, Ali. Motivasi dan Masalahnya. Jakarta : Titik, 2002.
Daradjat,
Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2002.
Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi
Belajar. Jakarta : Rineka Cipta, 2002.
Mahfuzh, M.
Jamaluddin. Psikologi
Remaja Islam. Jakarta : Al-Kautsar, 2001.
Maryanti, Bimbingan dalam Belajar. Jakarta : Bineka, 2002.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka, 1976.
Raharjo, Bagus. Motivasi dalam Belajar. Jakarta: Bintang, 2006.
Richard G. Lipsey dkk, Ilmu Ekonomi. Jakarta : Bina
Aksara, 2001.
Slameto. Belajar
dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya,
Jakarta : Rineka Cipta, 2004.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers, t.t
Suryabrata, Sumadi. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995.
Thoha, M. Chabib. Filsafat Pendidikan. Jakarta
: Rineka Cipta, 1993.
Tilaar, H.A.R. Pendidikan Kebudayaan,
dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar