Senin, 09 Januari 2012

ISU-ISU DALAM PROSES PEMBELAJARAN


ISU-ISU DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Proses pembelajaran merupakan suatu sistem instruksional mengacu pada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan dapat tercapai dengan baik, maka seluruh komponen yang ada harus dapat diorganisasikan sehingga setiap komponen mampu bekerjasama dalam proses pembelajaran. Baik itu peserta didik, lingkungan sosial budaya, ekonomi orang tua, dan selainnya.
Lebih lanjut Djamarah (2002 : 141) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu peruahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya, menyangkut; kognitif, afektif dan psikomotor.
Berbicara mengenai isu-isu yang terlibat dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Suryabrata (1995 : 249) meliputi:
1.   Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, yang dikategorikan kepada dua faktor; yaitu faktor sosial dan non-sosial.
2.   Faktor-faktor yang berasal dari daam diri pelajar; yang dikategorikan kepada faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Pembahasan makalah ini lebih terarah pada faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa, terutama faktor sosial. Suryabrata (1995 : 250) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan faktor sosial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan (tidak langsung hadir). Faktor-faktor sosial ini kerap menjadi isu-isu yang hangat diperbincangkan sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan dalam proses pembelajaran. Di antara dari sekian banyak contoh faktor sosial tersebut, konflik keluarga yang berdampak pada psikologis anak, kondisi perekonomian orangtua yang tidak mencukupi sehingga si anak mengalami gangguan psikis sehingga bepengaruh pada prestasi belajarnya, serta sosial budaya merupakan tiga fenomena isu yang paling dominan memberi pengaruh terhadap stabilitas belajar anak.
A.    Kultur Budaya (Cross Culture)
Istilah cultur berarti “kebudayaan” yang berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Soekanto (t.t : 172) mendefinisikan kebudayaan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Selanjutnya Soekanto menyatakan bahwa seorang antropolog; E.B Tylor pernah mencoba memberikan definisi kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan adalah kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemua hal yang didapati atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan terdiri dari berbagai pola-pola prilaku normatif; mencakup segala cara atau pola fikir, merasakan dan bertindak. Kebudayaan berperan penting sebagai figur dan sarana drill dalam membentuk budaya belajar anak, sebagai contoh: anak akan rajin beribadah karena kesehariannya dalam keluarga dibudayakan wajib ibadah. Selain itu stabilitas tingkat ketaatan ibadah anak tersebut juga turut didukung oleh sekolah bahkan masyarakat. Jika hanya keluarga yang membudayakan hal demikian, namun tidak ada dukungan dari lingkungan sekolah dan masyarakat, belum tentu stabilitas ibadah itu dapat terjaga sesuai harapan, terkecuali orangtua melakukan pemantauan secara maksimal.
Har Tilaar (2000 : 39) menguraikan secara sederhana, defenisi kebudayaan yang berindikasi dengan proses pembelajaran, sebagai berikut.
a.    Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Dimana kebudayaan berarti suatu kesatuan, bukan jumlah dari bagina-bagian. Keseluruhannya memiliki pola-pola atau desain tertentu yang unik. Setiap kebudayaan memiliki mozaik yang spesifik.
b.   Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang amaterial artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, dan sebagainya.
c.    Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik seperti hasil seni, terbentuknya kelompok-kelompok keluarga.
d.   Kebudayaan dapat pula berbentuk kekakuan-kekakuan yang terarah seperti: hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan.
e.    Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, dan dapat dilihat.
f.    Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.
g.   Kehidupan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup di dalam suatu masyarakat tertentu.

Kebudayaan (kultur) juga merupakan pola hidup dalam suatu masyarakat di lingkungan tertentu yang mencerminkan adat dan kebudayaan setempat. Dalam tinjauan psikologi, kebudayaan turut berperan dalam mempengaruhi proses belajar anak. Seumpama, bila seorang siswa tinggal dalam lingkungan berbudaya primitif atau pedalaman, maka pertumbuhan psikis anak akan melambat dan mempengaruhi proses pembelajaran anak di sekolah, keluarga maupun di masyarakat. Lingkungan yang demikian, ibarat suatu masyarakat yang tinggal di suku-suku pedalaman yang sering menimbulkan pertentangan dan permusuhan antar sesama. Hal ini akan berdampak pada psikis anak sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajarannya.
Namun sebaliknya, jika seorang anak tinggal di lingkungan masyarakat berbudaya kasih sayang yang sangat kuat dan mendapat perlakuan yang cukup baik, sehingga anak tidak tidak mengalami tekanan mental dan tumbuh cepat dalam perkembangannya, maka anak akan terbentuk dan berprilaku penuh kasih sayang dan perhatian (Mahfudz, 2001: 39).
Beberapa gambaran contoh budaya yang berdampak pada psikis belajar anak tersebut merupakan isu krusial yang seyogyanya diperhatikan secara signifikan dalam proses pembelajaran. Gambaran lain dampak budaya terhadap psikis belajar anak; kadangkala ditemui seorang anak terlihat murung dan tertutup dalam belajar di sekolah disebabkan oleh lingkungan masyarakat yang tidak kondusif, sering terjadi tindak pidana kejahatan, pemberontakan dan sebagainya yang berdampak pada ketertekanan mental anak bahkan terkadang berubah menjadi penakut saat belajar. Kondisi seperti ini secara realita dapat dibuktikan pada masa konflik yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu, dimana dalam situasi tersebut anak kurang termotivasi dalam belajar karena diselimuti rasa cemas dan takut sehingga memilih tidak bersekolah, jikapun bersekolah tidak fokus dan cemas dengan kondisi tersebut. Namun jauh berbeda dengan kondisi belajar anak saat pasca perdamaian di Aceh. Budaya damai yang disepakati tersebut akhirnya meruntuhkan pilar-pilar ketakutan dan kecemasan belajar anak, walaupun terkadang masih ada di antara mereka yang mengalami trauma. Namun dengan pendidikan dan motivasi yang kontinu anak akan dapat beraktivitas sesuai dengan budaya yang dibiasakan dalam kesehariannya.
Di samping hal tersebut, budaya yang dibangun di lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Ketidakdisiplin sekolah, mental guru yang kasar dan menakutkan, serta letak sekolah yang dekat dengan perkotaan yang ramai serta berbudaya bebas, secara otomatis dapat mengganggu perhatian anak dalam belajar. Perhatian anak akan beralih kepada hal-hal yang berada di luar sekolah dan merusak konsentrasi belajar.
Demikian pula halnya kebersihan dan keindahan sekolah, halaman dan ruang kelas, terkadang juga kerap tidak menstimulus gairah anak dalam belajar. Selain itu, siswa tidak bersemangat belajar dikarenakan ruang kelas yang sempit dan sinar matahari tidak masuk ke dalamnya dengan baik (Ali Bahari, 2002 :  29). Fenomena lain yanf paling sederhana, apabila pelaksanaan disiplin sekolah kurang baik, moral guru yang tidak mendukung dengan menunjukkan budaya malas saat mengajar, hal-hal ini tentunya akan berpengaruh bagi pembentukan karakter anak. Dampak dari fenomena yang demikian, anak akan senantiasa melakukan tindakan-tindakan yang melanggar disiplin sekolah saat proses pembelajaran sehingga dapat menghambat kesuksesan belajar, anak akan sering terlambat ke sekolah, tidak membawa perlengkapan belajar, tidak mengerjakan tugas dan kerap mengganggu ketertiban sekolah. Tindakan-tindakan tersebut, akan menghambat kesusksesan belajar anak dikarenakan kurangnya motivasi pembentukan karakter yang positif. Hal ini senada dengan pernyataan Soejanto (t.t : 55), yang mengemukakan bahwa ”budaya disiplin di sekolah merupakan kunci sukses, karena dengan  disiplin, orang akan berkeyakinan bahwa disiplin akan membawa manfaat yang dibuktikan dengan tindakan disiplinnya sendiri”.
Kondisi-kondisi tersebut di atas  merupakan hal-hal yang patut harus diperhatikan kepala sekolah dan guru selaku tim pelaksana pendidikan di sekolah guna menghindari timbulnya sejumlah kendala yang kerap mengganggu efektivitas belajar anak.
Berdasarkan uraian di atas dapat simpulkan bahwa lingkungan budaya, baik dalam masyarakat, sekolah maupun keluarga merupakan faktor penting yang memberi pengaruh signifikan dalam proses pembelajaran anak demi perkembangan fisik dan psikisnya yang baik untuk masa mendatang. Kesadaran anak akan terbentuk dan sangat dipengaruhi oleh kultur budaya yang dibina dan dimodelkan pendidik, sehingga menjadi pemicu ada tidaknya minat belajar anak dalam proses pembelajaran. Jika kultur budaya yang dibina positif, tentu sang anak akan berkembang ke arah yang positif, demikian pula sebaliknya.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa budaya sangat menentukan pembentukan karakter anak dalam belajar. Tiga komponen penting yang menjadi tri pusat pendidikan, yaitu; keluarga, sekolah, dan masyarakat, merupakan tim pelaksana dan pengukir hasil-hasil belajar anak. Oleh karena itu, ketiganya memiliki peranan yang signifikan dalam menentukan proses dan hasil belajar anak.
Mahfuzh (2001 : 195) menegaskan hal di atas dengan menyatakan bahwa jika rumah merupakan tempat dimulainya pendidikan, maka sekolah merupakan lingkungan yang menengahi antara lingkungan keluarga dan masyarakat luas dimana seseorang hidup, berinteraksi dan saling mempengaruhi. Maka tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa segala tanggungjawab hanya berada di pundak salah satu dari ketiga lingkungan tersbut. Ketiga lingkungan ini memiliki tanggungjawab yang sama, terlebih di era globalisasi saat ini dimana seorang ibu kerap disibukkan dengan karir di luar rumah sehingga tidak punya waktu luang untuk mendidik anak-anaknya, sehingga isu-isu seputar merebaknya pengaruh buku-buku bacaan, majalah, radio, televisi, dan teknologi lainnya terhadap perkembangan psikis dan pembelajaran anak pun tidak dapat terelakkan.
Beranjak dari hal tersebut, lembaga pendidikan Islam berasrama semisal pesantren menjadi pilihan tepat untuk membudayakan belajar, karena lingkungan di lembaga tersebut tentunya memiliki pola belajar yang terkoordinir dengan baik dalam seluruh aspek diri siswa, dimana tri pusat pendidikan terkumpul dalam satu lembaga terkait dan berkesinambungan dalam proses pembelajaran anak sehingga anak tidak merasa bingung dalam menentukan jati diri sebagai salah satu komponen hasil belajar yang harus diraih anak.
Beberapa komponen pendukung yang berperan sebagai motor dan model pembentuk budaya belajar anak yang baik ataupun sebaliknya adalah: 1) budaya belajar yang dibiasakan di rumah, 2) sekolah (kepala sekolah, guru dan seluruh pihak yang terlibat langsung dengan anak), 3) masyarakat, dan 4) media (TV, majalah, Koran, dan sebagainya). Keempat aspek ini dirasa berperan penting dalam mewujudkan pembelajaran yang ideal, sehingga terhindar dari isu-isu negatif yang mempengaruhi proses pembelajaran itu sendiri.

1.      Budaya Keluarga
a.       Fasilitas
b.      Perhatian (empati dan kehirauan)
2.      Budaya Masyarakat (dukungan sosial)
3.      Budaya Luar

B.  Konflik Keluarga
1.      Keluarga utuh
2.      Single Parent (Yatim, Piatu atau Yatim Piatu)

Konflik disharmonisasi yang terjadi dalam keluarga dapat berakibat fatal bagi perkembangan dan pertumbuhan seorang anak khususnya dalam proses pembelajaran. Banyak dampak yang dapat ditimbulkan dalam proses pembelajaran karena dipicu oleh konflik keluarga. Dampak-dampak tersebut adalah:
1.   Tekanan mental anak
Disharmonisasi dalam keluarga mengakibatkan tekanan mental psikis anak, sehingga dalam keseharian sang anak kurang bersemangat untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Selain itu, tekanan mental ini juga dapat menyebabkan kemurungan, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat (2002 : 116) bahwa “disharmonisasi yang terjadi dalam sebuah keluarga akan membuahkan tekanan mental pada anak, sehingga menganggu suasana belajar anak”.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa disharmonisasi keluarga dapat menimbulkan tekanan mental pada diri anak sehingga anak kurang bersemangat dalam belajar dan menunjukkan sejumlah gejala konflik psikis pada dirinya saat belajar; seperti; diam, murung, ketakutan, kecemasan, kurang bersemangat, tidak termotivasi, dan sebagainya. Tekanan mental yang demikian merupakan salah satu gangguan psikologi yang disebabkan oleh disharmonisasi keluarga.
2.   Kurang minat untuk belajar
Disharmonisasi dalam keluarga juga turut mempengaruhi minat belajar anak. Dalam arti kata, anak tidak memiliki keinginan yang kuat untuk belajar sehingga berpengaruh pada stabilitas belajarnya, baik di sekolah, keluarga, maupun dalam masyarakat. Hal ini dipicu oleh konflik yang terjadi dalam keluarga, sehingga pada akhirnya proses pembelajaran anak terganggu dan orangtua dapat dikatakan tidak menjaganya dengan baik. Padahal, Islam mewajibkan orangtua untuk menjaga anak sebagai amanah yang diberikan Allah swt.
3.      Kurangnya prestasi belajar
Dalam tinjauan psikologi, pengaruh dari disharmonisasi keluarga akan berdampak negatif pada mental anak yang berujung pada rendahnya prestasi belajar. Sehubungan dengan pengertian prestasi, dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai “jenjang yang diperoleh seseorang. Selanjutnya, Poerwadarminta (1976 : 654) mendefinisikannya sebagai “hasil yang didapati siswa selama belajar”. Dengan demikian jelas bahwa faktor disharmonisasi akan berdampak buruk bagi hasil yang diperoleh siswa dalam belajar.
Lebih jauh Thoha (1993 : 55) menguraikan tiga faktor yang sekiranya mempengaruhi peningkatan prestasi anak dalam belajar, yaitu:
a.       Faktor Psikologis
Prestasi belajar anak sangat ditentukan oleh kondisi psikologis atau kejiwaannya. Kondisi psikologis yang tenang, akan menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi dapat diraih sesuai harapan. Suasana jiwa yang tenang akan memotivasi anak berfikir dengan baik terhadap segala aspek yang terkait dengan proses belajarnya di sekolah, demikian pula sebaliknya.
b.      Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat belajar pertama bagi anak tentang segala hal. Pola pikir orangtua secara perlahan mewarnai pola pikir anak dan mengkonstruksi karakter dirinya. Bila orangtua memandang setiap masalah dari sudut pandang yang positif dan objektif, maka hal tersebut akan membentuk pola pikir yang positif bagi sang anak di masa mendatang, begitu pula sebaliknya (Thoha, 1993 : 56).
c.       Faktor Kebudayaan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kebudayaan dan lingkungan tempat anak berproses untuk tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pembentukan prestasi anak
Dengan demikian, ketiga faktor inilah hal-hal yang mempengaruhi proses belajar siswa menurut Thoha dan ketiganya merupakan isu-isu yang kerap dijadikan biang atas ketidaksuksesan proses dan hasil belajar.
C. Ekonomi Orangtua
1.      Keluarga ekonomi rendah
2.      Keluarga ekonomi menengah
3.      Keluarga ekonomi mapan

Isu ketiga setelah sosial budaya dan konflik keuarga, ekonomi juga merupakan komponen penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Dimana suatu proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dengan adanya dukungan ekonomi yang memadai. Ekonomi bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan belajar siswa, namun tidak dapat dipungkiri pentingnya konstribusi ekonomi dalam proses pembelajaran tersebut; yakni sebagai komponen penggerak kontinuitas pendidikan anak.
Latar belakang keluarga yang berpendapatan cukup atau tinggi, pada umumnya akan lebih mudah memenuhi segala kebutuhan pendidikan dan keperluan anak. Berbeda halnya dengan keluarga berpenghasilan relatif rendah, akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan anak. Fenomena ini sebagaimana dikemukakan Hamalik (1983 : 30) bahwa keadaan sosial ekonomi yang baik dapat perbegaruh pada menghambat ataupun mendorong anak dalam proses pembelajaran.
Berbicara tentang keterbatasan ekonomi orangtua, tentunya terkait dengan eksistensi dan kontinuitas pendidikan anak. Sebagai gambaran, anak yang berasal dari latar belakang keluarga ekonomi rendah akan mengalami depresi mental dan tekanan psikis efek dari ketidakmampuan orangtua dalam mencukupi setiap kebutuhannya layaknya anak lain. Sang anak akan merasa terkucilkan dan kerap diolok-olok teman dan terkadang mendapatkan teguran dari guru terkait dengan financial. Realita ini sudah barang tentu dapat mengganggu proses pembelajaran anak dan berdampak negatif bagi perkembangannya. Selain itu, anak akan dibayang-bayangi oleh masalah yang sedang dihadapinya sehingga psikisnya dapat terganggu dan menarik diri dalam eksistensi belajar.
Dengan demikian, perekonomian keluarga turut menentukan eksistensi belajar dan atau menjadi salah satu sumber kekuatan proses pembelajaran anak, karena kurangnya biaya pendidikan akan berdampak bagi proses pendidikan anak yang sedang atau akan dijalaninya. Fakta bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga ini berpengaruh tinggi terhadap pembelajaran anak di sekolah, dikarenakan segala kebutuhan anak yang berkenaan dengan pendidikan akan membutuhkan sosial ekonomi orangtua dan keadaan ekonomi ini berhubungan erat dengan belajar anak. Misalnya; dalam hal pakaian, perlindungan kesehatan, dan fasilitas belajar seperti; ruang belajar, penerangan, alat tulis, buku, dan lainnya, keterpenuhan seluruh faktor penunjang pembelajaran tersebut tentunya membutuhkan financial yang terkait dengan perekonomian keluarga (Slameto, 2003 : 63).
Hal senada dikemukakan Lipsey dkk (2001 : 103)  bahwa “proses pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila perekonomian sebagai pendukung pendidikan  dapat terpenuhi dengan baik pula. Sebuah rumah tangga adalah semua orang yang hidup di bawah sebuah atap dan yang membuat keputusan keuangan bersama”. Tidak semua anak dapat belajar dengan baik, disebabkan proses pembelajaran tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Slameto (2004 : 49) menyebutkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah: faktor  intern dan faktor ektern. Dimana keduanya saling mempengaruhi dan saling memberi konstribusi terhadap proses pembelajaran. Oleh karena itu, seorang pembelajar akan memperoleh hasil yang baik, jika kedua faktor tersebut dapat terjaga, diatur, dipelihara, dan terjalin dengan baik sehingga berdampak positif terhadap eksistensi belajar anak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Berdasarkan pembahasan di atas, jelas bahwa kondisi perekonomian keluarga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan belajar anak. Karena bagaimanapun, kemiskinan akan menimbulkan berbagai macam kendala dalam memenuhi berbagai kebutuhan belajar; seperti; ketidakmampuan dalam membayar SPP, buku, alat tulis, bahkan seragam. Keadaan ini akan mempengaruhi proses pembelajaran yang diselenggarakan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Sebagai pengayaan, pada dasarnya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses pembelajaran anak sebagaimana yang dikemukakan Slameto (2004 : 39). Ketiga faktor tersebut, adalah, faktor jasmani, faktor psikologi dan faktor kelelahan”. Namun faktor-faktor ini merupakan faktor intern yang berasal dari dalam diri siswa, sehingga tidak dijelaskan secara detail. Sebab pembahasan terfokus pada faktor eksternal siswa.
Demikianlah pemaparan singkat yang dapat disajikan dalam ruang lingkup isu-isu yang terlibat dalam proses pembelajaran anak dan menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan anak pula. Namun demikian, pada dasarnya isu-isu tersebut tidak hanya terpaku pada tiga komponen yang dijelaskan pada makalah ini. Dimana masih banyak diwacanakan isu-isu lainnya, seperti: gejala alam, bencana, media dan teknologi elektronika, cuaca, dan sebagainya. Oleh karena itu hendaknya para pembaca dapat menggali lebih mendalam pada referensi-referensi lain yang relevan dengan objek kajian ini.


D.    Kesimpulan
Dari hasil pemaparan ketiga isu yang terlibat dalam proses pembelajaran    di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut.
1.   Isu-isu seputar proses pembelajaran yang mempengaruhi psikologi belajar anak, diantaranya meliputi; kultur budaya, konflik keluarga, dan keterbatasan ekonomi orangtua.
2.   Kultur budaya merupakan komponen penting dalam membentuk karakter dan perkembangan jiwa belajar anak. Tri pusat pendidikan, yaitu; keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam hal ini berperan sebagai model dan penentu arah budaya yang akan diperoleh anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, perkembangan fisik dan psikis anak sangat dipengaruhi oleh ke tiga komunitas lingkungan tersebut. Dimana Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika didukung dengan kultur budaya setempat yang sejalan dengan budaya yang dibina oleh sekolah dan keluarga. Ketiganya memikul tanggungjawab yang sama dan saling berkesinambungan guna mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan.
3.   Konflik keluarga juga tidak luput menjadi salah satu isu yang turut mempengaruhi efektifitas pembelajaran anak. Tatkala anak hidup di sebuah keluarga yang broken home misalnya, maka sang anak akan menunjukkan sejumlah gejala konflik psikis dari dirinya saat belajar, seperti; diam, murung, kurang bersemangat, tidak termotivasi, dan sebagainya. Disharmonisasi dalam keluarga juga menentukan motivasi dan efektifitas perkembangan belajar anak.
4.   Perekonomian keluarga turut memberi andil dalam eksistensi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Sehubungan dengan keterpenuhan berbagai faktor penunjang stabilitas belajar, seperti: SPP, pakaian, buku, alat tulis, ruang belajar, dan kebutuhan belajar lainnya. Kemiskinan akan menghambat sejumlah mata rantai eksistensi belajar anak, sebaliknya keluarga yang berpendapatan cukup hingga menengah ke atas tidak terkendala dalam mencukupi setiap kebutuhan belajar anak tersebut.
5.   Ke tiga isu tersebut menjadi titik penting dalam menentukan proses dan keberhasilan belajar. Walaupun tidak semua isu tersebut dapat berdampak negatif terhadap proses belajar anak, namun secara umum ketiga isu tersebut merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses belajar anak.






DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Dessy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Amelia, 2005.

Bahari, Ali. Motivasi dan Masalahnya. Jakarta : Titik, 2002.

Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2002.

Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta, 2002.

Mahfuzh, M. Jamaluddin. Psikologi Remaja Islam. Jakarta : Al-Kautsar, 2001.

Maryanti, Bimbingan dalam Belajar. Jakarta : Bineka, 2002.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1976.

Raharjo, Bagus. Motivasi dalam Belajar. Jakarta: Bintang, 2006.

Richard G. Lipsey dkk,  Ilmu Ekonomi. Jakarta : Bina Aksara, 2001.

Slameto. Belajar dan  Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta : Rineka Cipta, 2004.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers, t.t

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995.

Thoha, M. Chabib. Filsafat Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Tilaar, H.A.R. Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar