Senin, 09 Januari 2012

MUHAMMADIYAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M                     di Yogyakarta, sebuah fenomena tersendiri dalam khazanah sejarah Islam             di Indonesia. Muhammadiyah cukup banyak menghiasi berbagai ruang dan tempat sejarah Indonesia dari mulai pra-kemerdekaan (sebelum 1945), sampai pasca kemerdekaan. Eksistensi Muhammadiyah dalam mengisi kemerdekaan tak perlu diragukan lagi. Dimana Muhammadiyah didirikan dengan tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. [1]  
Seiring perkembangan masyarakat yang dinamis dan sangat kompleks, memaksa Muhammadiyah untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut. Sebagaimana organisasi-organisasi keagamaan lainnya, Muhammadiyah dituntut oleh keadaan untuk menilai kembali identitasnya agar tetap relevan dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang semakin kompleks. Muhammadiyah dikenal sebagai suatu organisasi modernis (tajdid). Kesediaan Muhammadiyah untuk mengadopsi metode-metode modern (Barat) dalam kehidupan organisasi sehari-hari, Misalnya dalam sistem pendidikan, Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan Barat yakni dengan tanpa memisahkan (dikhotomi) antara pendidikan agama dan pendidikan umum, Muhammadiyah hadir dengan memadukan mata pelajaran agama dan umum, ini merupakan upaya praktis modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Namun jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah merintis pendidikan modern yang  memadukan antara pendidikan Barat yang hanya mengajarkan  “ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu agama”.  Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Ahmad Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang akut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang. Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran  karena terisolir dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern, di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan          a-nasional mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena dijauhkan dari agama dan budaya negerinya. [2]
Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi yang memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangan yang terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu lembaga atau suatu masa dalam berbagai proyeksi berbagai macam tujuan mereka, pendidikan bahkan telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara masal, karenanya pendidikan yang diterima oleh manusia hendaknya pendidikan yang seimbang antara pendidikan lahir dan batin, antara pendidikan dunia dan akhirat, sehingga manusia dalam memperoleh pendidikan tersebut memiliki keseimbangan dalam mengelola kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan yang ideal yakni “fi al-dunya hasanatan wa fi        al-akhirati hasanatan”. Tujuan ideal inilah yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan dalam hal perjuangan di bidang pendidikan yang menjadi warna pendidikan Muhammadiyah.
Gagasan pembaharuan di bidang pendidikan yang menghilangkan dikhotomi pendidikan umum dan pendidikan agama pada hakikatnya merupakan terobosan besar dan sangat fundamental karena dengan itu Muhammadiyah ingin menyajikan pendidikan yang utuh, pendidikan yang seimbang yakni pendidikan yang dapat melahirkan manusia utuh dan seimbang kepribadiannya, tidak terbelah menjadi manusia yang berilmu umum atau berilmu agama saja.
Keputusan Muktamar berkenaan program pendidikan bukan sekedar keinginan, akan tetapi program-program tersebut merupakan bentuk komitmen Muhammadiyah dalam dunia pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, keputusan-keputusan berkenaan dengan bidang pendidikan tersebut menggambarkan betapa Muhammadiyah menjadikan lembaga pendidikan sebagai pilar strategis dalam mendukung tujuannya.
Hal ini sebagai upaya dan penguatan (taukid) yang memberi Muhammadiyah label sebagai gerakan modernis jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi masyarakat lainya. Namun dengan makin kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi oleh Muhammadiyah disatu pihak dan respons yang diberikannya dipihak lain, sering pada akhir-akhir ini menimbulkan tudingan bahwa organisasi ini sedang mengalami kejumudan (kemandegan). Oleh karenanya, hal ini sangat menarik untuk dicermati bagaimana upaya Muhammadiyah dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar-nya melalui dunia pendidikan. Apakah ini merupakan proses penyesuaian strategi dakwah Muhammadiyah di era globalisasi seperti sekarang ? [3] Berdasarkan hal tersebut, tentunya kita membutuhkan pengetahuan lebih lanjut tentang “Muhammadiyah dan Gerakan Pembaharuan Pendidikan Modern” yang pada dasarnya mengupayakan produk pendidikan yang kompleks, sesuai dengan tuntutan era globalisiasi saat ini.  

B.     Ruang Lingkup Pembahasan
Pembahasan makalah ini difokuskan pada: sejarah terbentuknya Muhammadiyah, tokoh-tokoh berpengaruh di dalamnya serta gerakan pembaharuan pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah sebagai salah satu lembaga pembaharu pendidikan terbesar di Indonesia.

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah: agar kita mengetahui salah satu lembaga terbesar yang memiliki peran serta besar dalam hal pembaharuan pendidikan yang bebas dari dikhotomi dan tetap memelihara nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar dalam upaya modernisasi pendidikan itu sendiri.



[1] Arifin, M.T. Muhammadiyah: Potret yang Berubah, Surakarta : Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1990, hlm. 1

[2] Mulkhan, Abdul Munir, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 10
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Jatuhnya Bagdad ke tangan Hulagu Khan pada tahun 1258 M memberi dampak negatif terhadap tatanan sosial politik dunia Islam bahkan pada perkembangan intelektual umat Islam selama berabad-abad. Dari segi politik, dampak tercermin pada hancurnya khilafah sebagai lambang kekuasaan politik dan simbol kesatuan dunia Islam, serta munculnya suku Mongol non-muslim menggantikan bangsa Arab dan Persia dalam mengendalikan pemerintahan di wilayah dan bekas kekuasaan Islam. [1]
Adapun di bidang intelektual kemunduran terlihat dari kedinamisan berfikir serta semangat penelitian semakin hilang dan cahaya ilmu pengetahuan yang menyinari dunia Islam hampir padam sama sekali.[2] Refleksi dan kemunduran intelektual tersebut antara lain tampak dalam dua hal: Pertama; tertanamnnya sikap taklid pada Mazhab fikih dan terjadinya penyimpangan aqidah dalam berbagai bentuk. Kedua; kemunduran berfikir umat Islam tampak dengan terjadinya berbagai penyimpangan akidah yang antara lain tumbuh melalui organisasi tarekat yang berkembang dalam dunia Islam.
Lembaga pendidikan Islam tampaknya tidak mampu mengembangkan cara berfikir yang dinamis. Oleh karenanya kelumpuhan lembaga pendidikan saat itu dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: tujuan pendidikan Islam dan metode pengajaran yang diterapkan, disamping bahan pelajaran yang kurang melatih daya dan kemampuan berfikir. Walaupun pada abad ke-16 umat Islam mulai bangkit membangun kekuatan       di bidang politik, namun belum mampu mengangkat keterpurukan di bidang intelektual. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kekuatan politik yang tidak seimbang, pada akhirnya menghancurkan kekuatan politik dan menjatuhkannya ke bawah pengaruh kultur Barat. [3]
Uraian di atas, dalam referensi lain disebutkan bahwa di antara faktor yang mendorong munculnya Muhammadiyah sebagai berikut.
a.    Faktor Intern
Faktor intern ini berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang tercermin dari dua aspek, yaitu: sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama umat Islam pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Syirik, taklid dan bid’ah kerap membayangi umat Islam terutama dalam lingkungan keraton yang telah jauh tertanam budaya Hindu. Sikap beragama demikian terbentuk sejak abad ke-20 dan telah mengakar pada masa proses islamisasi beberapa abad sebelumnya. Dimana proses islamisasi di Indonesia dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: tasawuf/tarekat dan mazhab fiqh.
Di Indonesia sikap taklid ditopang oleh sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam lembaga pendidikan yang disebut pengajian Al-Quran dan pengajian kitab.           Di dalam lembaga pendidikan ini diberikan pelajaran fiqih yang kesemuanya mengacu kepada pola pemikiran al-Syafi’i. Metode yang diterapkan sangat menunjang pemberian bahan yang mengarah pada pola pembelajaran satu arah, dimana aktivitas pembelajaran berada di tangan Kiai, sedangkan murid bersikap pasif menyimak dan membuat catatan, tanpa bertanya, apalagi membantah apa yang dikatakan Kiai. Kharisma yang dimiliki Kiai serta penghormatan yang diberikan padanya berdampak pada kepasifan tersebut.
Metode pengajaran di atas lebih mementingkan daya hafal dan kemampuan membaca meski tanpa pengertian, sedangkan daya fikir dikesampingkan. Sistem pendidikan yang demikian dinilai sebagai sistem pincang yang menekankan latihan terhadap fungsi jiwa tertentu dan mengabaikan fungsi jiwa lainnya. Dari segi pembidangan ilmu pun antara lain dengan bertumpu pada kitab-kitab Mazhab al-Syafi’i, lembaga pendidikan tradisional lebih menanamkan hal-hal yang bersifat dogmatis dan menyingkirkan hal-hal yang membawa kepada berfikir secara rasional, sehingga kebiasaan berfikir rasional berkurang. Sistem pendidikan yang demikian memupuk sikap taklid yang diwariskan dari generasi ke generasi dan berkembang di masyarakat sampai saat ini. Dari satu sisi melalui taklid kemurnian ajaran mazhab dipertahankan, tetapi       di sisi lain kebekuan berfikir serta munculnya pola-pola pemikiran konservatif yang tidak dapat dihindari. Pola fikir yang demikianlah yang menyebabkan Islam kehilangan sifat dinamis serta daya elastisitasnya untuk dapat berkembang di era globalisasi. [4]
Fenomena yang digambarkan di atas, pada akhirnya mendorong munculnya Muhammadiyah. Selain itu, pemikiran-pemikirannya kian berkembang dengan tujuan menyelaraskan pendidikan sesuai dengan tatanan berfikir yang rasional dan menfasilitasi peningkatan kualitas berfikir dengan tidak mengenyampingkan tatanan nilai-nilai Islam.
b.   Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda yang terdeteksi dalam sistem pendidikan kolonial serta usaha westernisasi dan kristenisasi. [5]  
Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumiputra ataupun diserahkan kepada misi dan zending Kristen dengan bantuan financial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad ke-20 telah menyebar di beberapa kota, baik tingkat pendidikan dasar sampai ketingkat atas yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Oleh karenanya, pada masa ini terbentuk dua model pendidikan, yaitu: Pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, baik dari segi tujuan maupun kurikulumnya. Dimana pendidikan kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial yang sekuler dan bertujuan menyebarkan budaya Barat. Hal ini merupakan bentuk dari Politik Etis yang disebut Politik Asosiasi Belanda bagi pribumi, di samping dididik mereka juga ditargetkan untuk berbudaya Barat disamping sebagai upaya balas keuntungan material yang mereka peroleh dengan menjajah Indonesia.  Pada hakikatnya hal tersebut merupakan usaha westernisasi yang menarik penduduk kepada golongan pemuja Barat dan menyudutkan Islam karena lebih diperkenalkan dengan ilmu dan kebudayaan sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama. [6]
Usaha westernisasi ini juga mengarah pada usaha Kristenisasi, dimana mereka secara tidak langsung menarik penduduk ke arah kristenisasi melalui jalur pendidikan yang diberikan. Dengan demikian, betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Berdasarkan hal tersebut, Ahmad Dahlan merasa perlu menyelamatkan umat Islam melalui wadah organisasi, dan organisasi pemikiran sosial, politik, serta keagamaan sehingga lahirlah Muhammadiyah yang pada akhirnya mencetak rumusan-rumusan pemikiran dalam berbagai bidang.
B.     Tokoh-tokoh Berpengaruh dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah kian berkembang sampai saat ini sejak awal didirikan. Oleh karenanya, untuk lebih mendalam menelaah perkembangan tersebut perlu disebutkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berperan penting di Indonesia berikut karakteristik pemikiran maupun gerakannya.[7] 
1.      Ahmad Dahlan (1912 – 1922); membentuk karakter Muhammadiyah.
2.      Ibrahim (1922 – 1933); melebarkan sayap Muhammadiyah.
3.      Hisyam (1933 – 1936); meningkatkan mutu pendidikan.
Hisyam memiliki minat yang besar terhadap masalah pendidikan. Baginya pendidikan merupakan tempat untuk menumbuhkan dan menyemai kader yang akan meneruskan usaha Muhammadiyah. [8] Adapun langkah-langkah Hisyam dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan melakukan modernisasi pada sekolah-sekolah Muhammadiyah sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai sekolah-sekolah pemerintah kolonial. Salah satu strategi yang dilakukannya adalah menerapkan politik kooperatif dengan pemerintah kolonial dalam bentuk kesediaan menerima bantuan keuangan. Subsidi yang tidak seberapa jumlahnya (bila dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pada sekolah-sekolah kristen) itu dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sampai akhir tahun 1932, Muhammadiyah memiliki 103 Volk School, 47 Standar School, 69 Hollands Inlanse School, dan  25 Schakel School. Namun karena keputusannya itu, Hisyam harus mengalami kritik keras dari Taman Siswa dan Sarekat Islam, yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda. Namun Hisyam tetap teguh dengan pilihannya, dengan alasan bahwa subsidi tersebut berasal pajak yang diperas       di masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Menerima subsidi jauh lebih baik daripada menolaknya. Karena jika ditolak, dana itu justru dialihkan pada sekolah-sekolah kristen. [9]
Di samping memfokuskan perhatiannya di bidang pendidikan, periode kepemimpinan Hisyam juga menitikberatkan dan menghasilkan: a). Penertiban dan pemantapan administrasi organisasi, sehingga Muhammadiyah semakin diakui sebagai organisasi keagamaan modern; b). Nasionalisasi nama-nama Belanda menjadi nama Indonesia (1934). Seperti penggunaan nama Madrasah Muallimin sebagai ganti nama Kweek School, pemakaian darah Muallimat untuk Kweek School istri, pemakaian sekolah guru untuk menggantikan nama Normal School, dan lain-lain. c). Pembentukan majelis pimpinan perekonomian untuk memperbaiki perekonomian anggota (1935), pembentukan sekolah tinggi dan Majelis Pertolongan dan kesehatan Muhammadiyah (MPKPM) pada tahun 1936.
4.      Mas Mansur (1937 – 1942); menegaskan faham agama.
5.      Bagus Hadikusumo (1942 – 1953); peremajaan ide pendiri.
6.      A.R. Sutan Mansur (1953 – 1959); menegaskan wilayah gerak.
7.      Junus Anies (1959 – 1962); gerakan dakwah dan Amar Ma’ruf.
8.      Ahmad Badawi (1962 – 1968); masuk ranah politik.
9.      Abdul Razak Fachruddin (1968 – 1990); menerima asas Pancasila.
10.  Ahmad Azhar Basyir (1990 – 1994); merumuskan program jangka panjang.
11.  M. Amien Rais (1994 – 1998); menuju manajemen modern.
12.  Ahmad Syafi’i Ma’arif; mengembalikan Islam sebagai asas.
Namun demikian, seorang tokoh yang menjadi pencerah pemikiran terbentuknya Muhammadiyah adalah Syaikh Muhammad Abduh (w.1935) yang lebih dikenal dengan “Pencerah dari Timur”. Abduh bersama gurunya Jamal Al-Din Al-Afghani (w. 1897) secara konsisten menyerukan perlunya persatuan seluruh umat manusia untuk melawan dominasi Eropa. Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslim dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip Islam yang benar, meninggalkan bid’ah dan khurafat yang umumnya telah dianggap sebagai bagian integral agama. Menurutnya cara paling tepat untuk menjawab tantangan Barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam. Oleh karena itu, melalui pendekatan rasionalistis Abduh mengajak para kalangan terdidik muslim untuk membuang hadits-hadits palsu dan mengenyahkan sikap fatalistik di kalangan kaum muslim. Baginya, kesemua hal itu merupakan penghalang besar bagi munculnya pandangan keislaman yang segar dan dinamis, yang sangat dibutuhkan bagi sebuah kebangkitan. [10] 
Gerakan pembaharuan ini muncul, menekankan pada pentingnya mengamalkan syari’ah dan mengkritik praktek-praktek keagamaan yang dipandang menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah. [11] Gagasan-gagasan Abduh yang berkembang dalam konteks Mesir akhir abad ke-19, memperoleh tanggapan positif dikalangan terdidik muslim di banyak Negara Islam dikarenakan gagasan tersebut memiliki relevansi yang kuat dengan realitas masyarakat. Para sarjana muslim Indonesia memang sangat memerlukan strategi baru dalam menghadapi keterbelakangan dan dominasi Barat, segera melirik manfaat gagasan pembaharuan ini yang salah satunya adalah K.H Ahmad Dahlan sebagai perintis pembaharuan (tajdid) di Negara Indonesia. Anugerah pembaharuan tersebut diperjuangkannya sepulangnya dari Mekkah untuk belajar ilmu-ilmu keislaman dan kunjungannya kembali ke Mekkah pada tahun 1903 selama 18 bulan dan berguru ilmu-ilmu keislaman dengan bimbingan syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w.1916), yang memberikannya kesempatan untuk membaca tulisan-tulisan Abduh, antara lain: Risalat  al Tauhid, al Islam wa al Nasraniyyah, Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir al Manar, dan tulisan-tulisan lepas Abduh yang dimuat di Majalah Al-Manar dan Al Urwah al Wutsqa.[12] Dengan demikian, Dahlan telah berdialektika dan menjadi jembatan penghubung antara proses pembaharuan di Timur Tengah dengan gerakan pembaharuan Muhammadiyah, dan diteruskan pada kadernya.
Ahmad Dahlan sebagai perintis Muhammadiyah mengalami fitnah, tuduhan dan hasutan yang datang bertubi-tubi, di antaranya: dituduh mendirikan agama baru yang menyalahi Islam, dituduh sebagai Kiai palsu karena hubungannya dengan pemerintah Belanda, dan lain-lain. Tiga puluh dua hari setelah Muhammadiyah didirikan, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Belanda untuk memperoleh status badan hukum. Namun permohonan baru dikabulkan pada tahun 1914. Penyebarluasan gagasannya, dilakukan melalui kegiatan tabligh ke berbagai kota dengan memanfaatkan relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921, Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di seluruh Indonesia.

C.     Gerakan Pembaharuan Pendidikan Modern Muhammadiyah
Sebelum memasuki ranah konsep pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah, sebaiknya diperkenalkan visi dan misi dakwah Muhammadiyah terlebih dahulu. Adapun landasan visi dan misi Muhammadiyah itu sendiri didasarkan pada surat Ali Imran ayat 104: “Hendaklah ada di antara kamu, sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan, memerintah untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Mereka inilah yang sesungguhnya beruntung”.
Dari ayat tersebut lahirlah dua elemen penting yang menginspirasi pandangan Muhammadiyah; yaitu: untuk senantiasa melaksanakan kegiatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena tujuan utama dakwah adalah pembentukan karakter individual, maka arah yang hendak dituju adalah kegiatan dakwah yang meningkatkan wawasan dan pengetahuan keagamaan umat Islam di tingkat individu, dan mengajak mereka yang non-muslim untuk memeluk agama Islam serta berlomba-lomba untuk mengajak dan melakukan kebaikan  yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. [13] 
a.   Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan merasa tidak puas dengan sistem dan praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. [14] Karena itu ia mengemukakan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
1.   Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan, ia harus merujuk pada cara membangun sistem pendidikan.
Pribadi Ahmad Dahlan  adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu model dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi.
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Ahmad Dahlan  gelisah, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri dimana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide model pendidikan integralistik mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian.
Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang mesti dieksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya, ia akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912.
Metode pembelajaran yang dikembangkan Ahmad Dahlan  bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika ia menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang harus dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana dipraktekkan Ahmad Dahlan. Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Ahmad Dahlan  adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.  Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
2.   Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama

Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism            al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut Ahmad Dahlan adalah: [15] baik budi, alim dalam agama, luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum), dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Latar belakang timbulnya pemikiran pendidikan Islam Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh rasa tidak puas terhadap sistem pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang dicetuskan Ahmad Dahlan melalui gagasan dan praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam pembaharuan sistem pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh pondok Muhammadiyah. Ada empat pokok model pembaharuan pendidikan di Pondok Muhammadiyah antara lain: [16]
No
Sistem Pendidikan Lama
Pondok Muhammadiyah
1

2



3
4
Sistem belajar mengajar Weton dan Sorogan.
Bahan pelajaran semata-mata agama, kitab-kitab karangan ulama pembaharuan tidak dipergunakan.

Belum ada RP yang teratur dan integral. Hubungan guru dan murid lebih bersifat otoriter dan kurang demokratis.
Sistem klasikal dengan cara-cara Barat.

Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab agama dipergunakan secara luas, baik klasik maupun kontemporer.
Sudah diatur dengan RP.
Diusahakan suasana hubungan guru dan murid lebih akrab bebas dan demokratis.

Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama dan alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah. Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara wajar. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu melalui Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam kurikulumnya. Semuanya itu mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap beliau. Ada yang menuduh sebagai murtad, kristen, penganut paham mu’tazilah, kharijiah, dan sebagainya.
3.   Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda

Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama         di dalamnya. Tujuan pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda dengan mengikuti contoh misi kristen dengan menyebarkan fasilitas dan mendesakkan pengalaman iman.
Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharapkan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting  berkat bantuan istri dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyah. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.
4.   Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Terlihat adanya kerjasama yang harmonis antara pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah. Keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua, mendukung program pembaharuan keagamaan  termasuk di dalam bidang pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi dan di saat tidak satupun gerakan yang sebanding dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga Ahmad Dahlan dapat masuk lebih dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju ke depan dari pada sistem penddikan pribumi yang tradisional.
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 November 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan perlahan menunjukkan grafik penurunan.  Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr. Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dan tidak sedikit tokoh-tokoh bangsa ini merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah.
Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah banyak memberikan kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah mempelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid Ahmad Dahlan, Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Quran dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta, berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan keterbukaan pikir.
Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran Al-Quran. Misalnya turut mempelopori usaha penerjemahan Al-Quran, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang mempelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan. Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa. Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Al-Quran dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tersebut, gerakan Muhammadiyah telah membangunkan kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi.
Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam bukunya “Benturan Peradaban” menyebutkan Muhammadiyah sebagai motor kebangkitan Islam di Indonesia. Dalam rentang usianya mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa, bahkan tampak Muhammadiyah sedang melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dan seterusnya.
b.   Konsep Pendidikan Muhammadiyah
Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, pendidikan telah menjadi semacam teknologi yang memproduksi manusia masa depan paling efektif. Dari fenomena perkembangan yang terakhir, memberikan petunjuk bahwa pendidikan bukan saja menjadi alat suatu lembaga atau suatu masa dalam berbagai proyeksi berbagai macam tujuan mereka, pendidikan bahkan telah menjadi kebutuhan manusia sendiri secara masal, karenanya pendidikan yang diterima oleh manusia hendaknya pendidikan yang seimbang antara pendidikan lahir dan batin, antara pendidikan dunia dan akhirat, sehingga manusia dalam memperoleh pendidikan tersebut memiliki keseimbangan dalam mengelola kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan yang ideal yakni “fi al-dunya hasanatan wa fi al-akhirati hasanatan”. Tujuan ideal inilah yang digagas oleh Ahmad Dahlan dalam hal perjuangan di bidang pendidikan yang menjadi warna pendidikan Muhammadiyah. Dimana dua hal yang mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan Ahmad Dahlan, yaitu: pembaharuan pendidikan di Mesir, dan aktivitasnya dalam organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan di nusantara.
Pembaharu Islam di Mesir memandang pendidikan sebagai jalur strategis pengembangan manusia sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Rasyid Ridha, salah satu tujuan Al-Quran adalah menyempurnakan jiwa manusia (baik sebagai individu, kelompok, bangsa) melalui ajaran fitrah manusia, pengembangan akal (rasio), ilmu, hikmah dan pemahaman serta dalil-dalil dan bukti. Dengan demikian, Al-Quran mendidik manusia untuk tidak bertaklid, tidak jumud dalam mengikuti jejak leluhur, serta mengajarkan kebebasan individu dalam beragama. [17]
Al-Quran mendidik manusia untuk mempercayai yang ghaib sepanjang dikabarkan oleh para nabi, namun diletakkan secara seimbang antara pendidikan agama dan pendidikan yang bersifat kebendaan. Sementara Muhammad Abduh memandang bahwa ekspansi Barat terhadap dunia Islam hanya bisa dijawab dengan meningkatkan standar moral dan intelektual. [18]
Gagasan pembaharuan di bidang pendidikan yang menghilangkan dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama pada hakikatnya merupakan terobosan besar dan sangat fundamental karena dengan itu Muhammadiyah ingin menyajikan pendidikan yang utuh, pendidikan yang seimbang yakni pendidikan yang dapat melahirkan manusia utuh dan seimbang kepribadiannya, tidak terbelah menjadi manusia yang berilmu umum saja atau berilmu agama saja.



[1] Banyak faktor yang menyebabkan mundurnya pemikiran umat Islam yang telah dimulai sebelum jatuhnya Bagdad. Salah satu di antaranya adalah penghapusan Mazhab Mu’tazilah sebagai Mazhab resmi Negara dalam kerajaan Abbasiyah. Penekanan dan kekerasan yang dilakukan oleh Khalifah Mutawakkil (847-861 M) kepada penganut Mazhab tersebut secara tidak langsung mematikan semangat intelektual dan kebebasan berfikir kaum Mu’tazilah yang banyak memberikan andil dalam dunia ilmu pengetahuan pada saat itu. Lihat, Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 21.

[2] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 3

[3] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 19 

[4] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 20 - 25 

[5] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 25 

[6] Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.  hlm.  144

[7] M. Mukhsin Jamil, dkk, Nalar Islam Nusantara, Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU, Jakarta: Depag RI, Dirjen Pendidikan Islam, dan Dirpen Tinggi Islam, 2007. hlm. 30 - 52

[8] Kamal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Jakarta: Tanpa nama penerbit, 2000. hlm. 99

[9] Kamal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. hlm. 27

[10] Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah…,  hlm.  130.

[11] Achmad Djainuri, Ideologi Kaum Modernis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. Surabaya: LPAM, 2002.  hlm. 15

[12] Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al Afghani sampai KH. Ahmad Dahlan sampai KH. Mas Mansur. Yogyakarta: Persatuan, t.t.  hlm. 15

[13] M. Mukhsin Jamil, dkk, Nalar Islam Nusantara, Studi Islam ala Muhammadiyah..., hlm. 75

[14] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember: Mutiara Offset, 1985. hlm. 95-96

[15] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan ..., hlm. 96

[16] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan ..., hlm. 95-96

[17] M. Mukhsin Jamil, dkk, Nalar Islam Nusantara, Studi Islam ala Muhammadiyah..., hlm. 76

[18] M.T Arifin, Muhammadiyah: Potret Yang Berubah. Surakarta: Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan Surakarta, 1990. hlm. 75 


 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Sejarah terbentuknya Muhammadiyah; a) Faktor Intern; Di Indonesia sikap taklid ditopang oleh sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam lembaga pendidikan yang disebut pengajian Al-Quran dan pengajian kitab. Di dalam lembaga pendidikan ini diberikan pelajaran fiqih yang kesemuanya mengacu kepada pola pemikiran al-Syafi’i. Metode yang diterapkan sangat menunjang pemberian bahan yang mengarah pada pola pembelajaran satu arah, dimana aktivitas pembelajaran berada di tangan Kiai, sedangkan murid bersikap pasif menyimak dan membuat catatan, tanpa bertanya, apalagi membantah apa yang dikatakan Kiai. Kharisma yang dimiliki Kiai serta penghormatan yang diberikan padanya berdampak pada kepasifan tersebut. b) Faktor ekstern; yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda yang terdeteksi dalam sistem pendidikan kolonial serta usaha westernisasi dan kristenisasi.   
2.      Tokoh-tokoh berpengaruh Muhammadiyah; K.H Ahmad Dahlan, Ibrahim, Hisyam, Mas Mansur, Bagus Hadikusumo, A.R. Sutan Mansur, Junus Anies, Ahmad Badawi, Abdul Razak, Ahmad Azhar, M. Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif.
3.      Gerakan pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah sebagai salah satu lembaga pembaharu pendidikan terbesar di Indonesia; 1) Pendidikan Integralistik, 2) Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama, 3) Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda, dan 4)  Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan.

B.     Saran
Penulis mengharapkan agar para pembaca tidak merasa terpuaskan dengan isi makalah ini, sehingga adanya keinginan lebih lanjut dari pembaca untuk membaca dan mendalami literatur-literatur yang berkaitan dengan ruang lingkup makalah.