A. Filsafat dan Pemikirannya
1.1 Pengertian Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa Arab falsafah yang berasal dari bahasa Yunani Philoshopia, kata majemuk yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka dan kata shopia yang artinya bijaksana. Secara terminologis, filsafat didefinisikan dengan berbagai pendapat, di antaranya: [1]
1. Plato (427 SM – 347 SM). Seorang filosof Yunani yang berguru pada Socrates dan guru dari Aristoteles. Ia mengemukakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berniat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (381 SM – 322 SM) menyatakan bahwa filsafat merupakan ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu: metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3. Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi. Ia merumuskan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4. Al-Farabi (w.950 M) seorang filosof muslim, mengemukakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 M – 1804 M) yang dikenal dengan raksasa pemikir Barat. Filsafat menurutnya merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu:
- Apakah yang dapat kita ketahui ? jawabannya melalui Metafisika.
- Apakah yang boleh kita kerjakan ? pertanyaan ini dijawab oleh etika.
- Sampai dimanakah pengharapan kita ? pertanyaan ini dijawab oleh agama.
- Apakah manusia itu ? dijawab oleh antropologi.
Selanjutnya Titus mengemukakan pendapat tentang definisi filsafat yang dijelaskan dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam biasanya diterima secara tidak kritis.
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat di junjung tinggi.
3) Filsafat adalah suatu usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Berdasarkan lima kategori pengertian filsafat menurut Titus, kategori kelima merupakan pengertian filsafat yang paling sesuai dengan ruang lingkup bahasan ini. Dimana pengertian filsafat yang demikian, tentunya akan melahirkan berbagai teori dan pemikiran guna menyelesaikan berbagai problematika yang terjadi, seperti idealisme, realisme, pragmatisme, dan fenomenologi. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah berbagai teori dan sistem pemikiran yang dikembangkan para filosof besar seperti: Socrates, Aristoteles, dan lain-lain. Tanpa jasa pemikiran mereka, filsafat tidak akan berkembang dan memiliki konstribusi yang besar dalam berbagai aspek kehidupan seperti sekarang, hingga pada akhirnya banyak dilakukan berbagai penyelidikan tentang filsafat.
Berkenaan dengan filsafat, hasil penyelidikan membuktikan bahwa filsafat bersifat: 1) menyeluruh (universal), atinya filsafat melihat atau memandang obyeknya secara menyeluruh. 2) Mendasar, artinya filsafat menyelidiki obyeknya sampai ke akar-akarnya, sampai ditemukannya hakikat sesuatu yang diselidiki. 3) Spekulatif, artinya hasil yang diperoleh dari penyelidikan filsafat baru berupa dugaan-dugaan belaka, dan bukan sebuah kepastian. Namun dugaan tersebut logis, masuk akal dan rasional, bukan dugaan hampa. [2]
Ketiga sifat dan karakteristik di atas menjadi landasan dalam upaya pencarian solusi melalui filsafat bagi setiap problem yang ingin dipecahkan, disamping harus mengikuti 3 metode pemecahan filsafat itu sendiri, yaitu:
a. Metode deduktif; suatu metode berfikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum ke sesuatu yang bersifat khusus.
b. Metode induktif; suatu metode yang merupakan kebalikan dari metode deduktif.
c. Metode dialektik; suatu cara berfikir yang menarik kesimpulan melalui 3 triade (jenjang penalaran), yaitu: tesis, anti tesis, dan sintesis. [3]
1.2 Pemikiran Para Filosof dalam Bidang Kajian Filsafat
Para filosof yang memusatkan fikirannya dalam filsafat, di antaranya: [4]
1. Ar-Razi
a. Akal dan agama
Akal anugerah Tuhan terpenting, segala sesuatu dicerna dan difikirkan dengan akal. Akal yang membawa manusia mengenal Tuhannya. Potensi akal yang diberikan kepada manusia itu sama, perbedaaan hanya terletak pada pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendidikan, lingkungan dan suasana kehidupan yang melatarbelakangi manusia itu sangat menentukan potensi akalnya dalam mengenal Tuhan.
b. Hubungan jiwa dan materi
Alam tidak terjadi dengan sendirinya (creation ex-nihilo), tetapi diciptakan Tuhan dari materi pertama. Penciptaan alam disebabkan permainan antara jiwa dan materi pertama. Pada mulanya jiwa tanpa ilmu tertarik pada materi pertama dan ingin menguasainya, tetapi materi tersebut berontak untuk dikuasai. Oleh karenanya Tuhan berkenan menolong jiwa dengan membentuk alam serba menarik bagi kesenangan jiwa. Selanjutnya sebagai alat bagi roh dalam mengenyam dunia Tuhan menciptakan manusia.
c. Prinsip keabadian
Filsafat Ar-Razi dikenal dengan lima prinsip keabadian, yaitu:
1. Al-Bari Ta’ala; Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha sempurna.
2. An-Nafsul Kuliyah; jiwa yang universal hidup dari jasad ke jasad hingga menemukan kebebasan hakiki.
3. Al-Hayulal Ula; materi pertama, Tuhan menciptakan bumi darinya (atom tanah, air, hawa dan api).
4. Al-Makanul Mutlaq; ruang absolut, abadi tanpa awal dan akhir.
5. Az-Zamanul Mutlaq; masa yang absolut, abadi tanpa awal dan akhir.
2. Al-Farabi
Al-Farabi dikenal dengan Mu’allimuts-Tsani (guru kedua), dalam arti ia merupakan filosof terbesar kedua setelah Aristoteles. Keahliaannya dalam bidang logika melebihi al-Kindi.
a. Kegeniusan al-Farabi dalam berbagai ilmu pengetahuan
Beberapa buku hasil karya al-Farabi yang masih ditemukan sebagai bukti penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain:
- Maqalatun fi Ma’anil Aql. Berisi tentang kedudukan akal, pembagian, dan sumber ilmu (ma’rifat).
- Al-Jami’ Baina Ra’yil Hakimain. Mempertemukan pendapat dua orang filosof Plato dan Aristoteles.
- Fima Yanbaghi an Yuqaddima Qabla Ta’allumil Falsafah. Logika tidak termasuk filsafat, tetapi sebagai alat untuk mempelajarinya.
- Ara’u Ahlil Madinah Al-Fadhilah. Teori politik perkotaan (negara utama), dimana warga negaranya makmur bahagia.
- dan lain-lain.
b. Hakikat Tuhan
Tuhan sebagai penyebab utama hakikat wujud tidak terdiri dari materi dan forma (bentuk). Tuhan Esa dalam dzat-Nya. Wujud Tuhan itu sempurna, tidak berpermulaan dan selalu wujud.
c. Nazhariatul Faidh (Teori emanasi)
Penjelasan tentang penciptaan alam yang banyak berasal dari yang satu, al-Farabi mengemukakan teori emanasi. Teori ini merupakan gabungan antara teori Aristoteles dan Plotinus. Menurut teori emanasi Tuhan itu adalah akal yang berfikir, sumber dari segala sumber ilmu, sumber inspirasi, dan sumber kekuatan.
d. Jiwa manusia
Jiwa berbeda dengan roh. Jiwa berasal dari akal kesepuluh yang muncul bersama materi pertama, tetapi roh timbul dari limpahan ilmu Tuhan bersama wujud pertama daripada-Nya. Jiwa itu materi, roh pemberi bentuk dan keduanya abstrak. Gabungan roh dan jiwa menjadi hakikat manusia yang menempati jasad sebagai wadah. Jasad bersifat fana, namun jiwa dan roh kekal. Menurut al-Farabi, jiwa manusia mempunyai kekuatan-kekuatan, yaitu: kekuatan gerak, mengetahui, dan berfikir (praktis dan teoritis).
e. Filsafat kenabian
Akal berkomunikasi langsung dengan manusia. Dengan komunikasi ini para filosof memperoleh hakikat akan sesuatu, demikian pula halnya nabi dan rasul yang menerima wahyu melalui komunikasi akal antara kebenaran yang diterima filosof dengan kebenaran yang diterima nabi dan rasul tidak bertentangan, keduanya menerima kebenaran dari sumber yang sama.
f. Etika
Nilai baik dan buruk berkaitan erat dengan persoalan metafisika, baik-buruk menyangkut komunikasi akal kesepuluh yang dirasakan akal mustafad. Hubungan ini membawa kebahagiaan abadi. Oleh karenanya semakin meningkat daya fikir akal mustafad, semakin teranglah nilai baik-buruknya karena limpahan ilmu dari Tuhan.
3. Plato
Plato memberi istilah dialektika yang bermakna seni berdiskusi. Dikarenakan filsafat harus berlangsung sebagai upaya memberi kritik terhadap berbagai pendapat yang berlaku. Kearifan intelektual yang diperoleh melalui proses kritis dan diskusi, diartikan sebagai suatu penyelidikan suatu sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena seorang filosof akan senantiasa mencari sebab musabab dan asas-asas penghabisan dari benda.
4. Cicero
Cicero menyebut filsafat sebagai “Ibu dari semua seni” (the mother of all the arts). Juga sebagai arts vitae, yaitu filsafat sebagai seni kehidupan.
5. Rene Descartes
Filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.
6. Francis Bacon
Filsafat induk agung dari ilmu-ilmu dan ia menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
7. John Dewey
Filsafat sebagai suatu alat untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan.
Demikian beberapa pemikiran filosof tentang filsafat dan sebagiannya turutserta mengemukakan konsep-konsepnya dalam kajian keislaman.
Selanjutnya kajian filsafat berpusat pada hal bersifat metafisik, tidak mengkaji dimensi fisik. Berbeda halnya dengan pendekatan filsafat dalam memahami Islam bertolak dari asumsi bahwa Islam adalah agama berdimensi fisik dan metafisik. Dalam artian bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Dzat yang Maha Ghaib yang tak dapat dijangkau keberadaannya dengan indera.
Namun demikian, sentralisasi pemikiran filsafat Islam, diawali oleh masalah ketuhanan. Rasio manusia tidak dapat mengungkap rahasia Tuhan dalam keberadaannya, esensinya maupun perbuatannya. Hal tersebut hanya memungkinkan pada manusia pilihannya. Filsafat memahami kebenaran Islam berusaha memikirkan dasar-dasar Islam sehingga dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima akal kepada yang tidak percaya dengan wahyu dan hanya berpegang pada pendapat akal saja. [5]
B. Ilmu Kalam dan Pemikirannya
2.1 Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu tauhid yang didefinisikan sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil naqli, dalil aqli, ataupun dalil wijdani (perasaan halus). Oleh para ulama mutakallimin ilmu ini disebut juga dengan ilmu kalam.
Namun sebutan ilmu kalam ini baru dikenal pada masa pemerintahan Abbasiyah setelah terjadinya banyak perdebatan, pertukaran pikiran dan bercampurnya masalah-masalah tauhid dengan masalah-masalah falsafah, seperti: membicarakan tentang maddah (materi), susunan tubuh, hukum-hukum jauhar (zat), sifat dan lain-lain. [6] Pemikiran-pemikiran yang terbentuk dalam bahasan ilmu kalam, pada mulanya dipicu oleh pertikaian politik yang berujung pada perdebatan teologis menyangkut: persoalan pelaku dosa besar, perbuatan manusia – perbuatan Tuhan, hingga pada persoalan sifat dan zat Tuhan. Aliran-aliran pemikiran tersebut, di antaranya: Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadhariyah, dan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
2.2 Aliran-aliran Pemikiran dalam Ilmu Kalam
Secara umum, aliran-aliran pemikiran dalam bahasan ilmu kalam demikian banyaknya. Namun dalam uraian ini hanya dibahas dua aliran terbesar, yaitu: Mu’tazilah dan As’ariyah.
1. Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti memisahkan diri. Sebutan ini diberikan Hasan Al-Basri kepada salah seorang muridnya Washil bin Atha’, dikarenakan ia mengasingkan diri dari pengajian akibat dari ketidaksepahaman dengan pendapatnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi pemberian nama bagi Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan A. Hanafi bahwa: “Ada tiga faktor yang melatarbelakangi pemberian nama Mu’tazilah, yaitu: Pertama, karena Washil mengasingkan diri dari pengajian gurunya. Kedua, karena pendapat mereka yang asing dari mayoritas umat muslim. Ketiga, mereka mengatakan pelaku dosa besar mengasingkan diri dari golongan mukmin dan golongan kafir”.[7]
Perintis lahirnya kelompok ini adalah Washil bin Atha’ sebagaimana gambaran umum latarbelakang pemberian nama. Namun setelah Washil bin Atha’ wafat, lahir tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya, seperti: Abu Al-Huzail, al-Jubba’i, an-Nazzam, al-Jahiz, dan Muammar bin Abbad. [8]
Selain hal perintis lahirnya faham ini, hal lain yang mendasari Mu’tazilah itu sendiri adalah dimana mereka menelaah bahasan-bahasan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis dibandingkan aliran lainnya, seperti aliran khawarij dan murji’ah. Mu’tazilah kerap mengedepankan akal sehingga disebut dengan “kaum rasional Islam”.
Selanjutnya, Mu’tazilah memiliki 5 prinsip ajaran yang lebih dikenal dengan al-ushul al-khamsah, sebagai berikut: [9]
1) At-Tauhid; Tuhan satu-satunya yang Esa, tidak ada satupun yang menyamai. Dalam hal pemurnian ke-Esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Selain itu mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.
2) Al-‘Adlu; dasar keadilan ialah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, karena semua perbuatan manusia bergantung pada dirinya dan tidak ada kaitan dengan Tuhan. Manusia berbuat atas kehendak dan kebebasan dirinya.
3) Al-Wa’du wal Wa’id; Orang baik pasti Tuhan masukkan ke syurga (sesuai janji), dan memasukkan orang jahat ke neraka (sesuai ancaman). Mu’tazilah tidak mengakui akan adanya syafa’at di hari akhir.
4) A-Manzilatu baina Manzilataini; Pelaku dosa besar, dalam pandangan Mu’tazilah kedudukannya bukan mukmin tapi bukan pula kafir secara mutlak, karena ia telah mengucap syahadat. Akan tetapi, orang tersebut disebut fasiq menempati status mukmin dan kafir.
5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar; ajaran yang menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Hal ini dianggap sebagai konsekwensi logis terhadap keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Demikian beberapa pemikiran dari kelompok Mu’tazilah yang kerap menjadi perdebatan dengan kelompok teologis lain, seperti murjiah, ahli sunnah wal jama’ah, qadhariyah dan selainnya, dikarenakan masing-masing aliran memiliki pandangan yang berbeda dalam hal tersebut di atas, sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang dirintis oleh pendahulunya.
2. As’ariyah
Aliran ini juga mengembangkan pemikiran-pemikirannya secara rasional dan beranjak dari sistematika berfikir Mu’tazilah. Pemikiran tersebut, sebagian besar diungkapkan sebagai reaksi kritik terhadap faham Mu’tazilah. Beberapa konsep pemikiran As’ariyah, sebagai berikut.
a. Sifat Tuhan.
Tuhan mempunyai sifat ‘ilm, hayat, sama’, bashar, dan qudrat. Sifat-sifat tersebut bukan dzat-Nya. Jika itu dzat-Nya maka itu pengetahuan, karena Tuhan adalah pengetahuan. Tuhan bukan ‘ilm, melainkan ‘alim (Yang Mengetahui). Mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah Kalamullah yang qadim dan bukan makhluk. Dalam hal melihat Allah swt, mereka menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala langsung di akhirat.
b. Kedudukan akal
Dengan akal, manusia dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun dengan akalnya manusia tidak akan dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak, karena kewajiban hanya dapat diketahui dengan informasi wahyu. Selain itu, dalam memahami dalil naqli; mereka berpegang pada arti lahiriah dan tidak menta’wilkannya. Sedangkan perihal pelaku dosa besar; Tuhan tidak dapat dikenai kewajiban. Tuhan berkuasa mutlak, bisa saja atak kehendak-Nya semua orang masuk syurga dan tidak dapat disebut tidak adil. Demikian pula hal sebaliknya yang tidak dapat dikatakan dzalim.
c. Al-Kasb. Dalam hal ini, mereka ingin menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan mutlak Tuhan. Sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.
Demikian beberapa konsep pemikiran aliran As’ariyah. Dimana pada akhirnya konsep pemikiran ini berhasil melumpuhkan gerakan aliran Mu’tazilah dan menjadi cikal bakal lahirnya faham Sunni. Kedudukannya semakin mantap dalam bangunan intelektualitas Islam dan berusaha mencari jalan tengah antara faham jabariyah dan qadhariyah, sehingga menjadi populer di kalangan umat Islam. Pada akhirnya ia digunakan sebagai faham resmi hampir di seluruh belahan negeri Islam sampai saat ini. Keberhasilan tersebut dipelopori oleh Abu Hasan, kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh As’ariyah terkemuka seperti al-Baqillani, al-Juwaeni, dan al-Ghazali. [10]
Berdasarkan uraian di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa konsep pemikiran ilmu kalam berkisar pada: konsep iman, keesaan Tuhan, kehendak mutlak Tuhan, kehendak bebas manusia, keadilan Tuhan, Kasb manusia, melihat Tuhan di akhirat, janji dan ancaman Tuhan, urgensi wahyu, dan status al-Quran. Namun untuk selanjutnya konsep-konsep pemikiran tersebut berujung pada persoalan politik antar aliran dalam upaya legalitas pemahaman dan kekuatan.
C. Ilmu Tasawuf dan Pemikirannya
Ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pembersihan aspek rohani manusia yang dapat menimbulkan akhlak mulia. Keadaan tasawuf berorientasi kepada kesucian jiwa dengan mengutamakan panggilan Allah swt dan melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi. [11]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran tasawuf atau mistik pada dasarnya merupakan pengalaman (al-tajribah) spiritual yang bersifat pribadi. Namun pengalaman ulama yang satu dengan yang lainnya tentunya memiliki kesamaan dan perbedaan yang tidak bisa diabaikan.[12] Dengan kata lain, tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi (manusia) dengan Allah swt.
Konsepsional tasawuf tentang Tuhan, sulit untuk diformulasikan karena berkaitan dengan pengalaman masing-masing sufi. Akan tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam beberapa aliran pemikiran, antara lain: [13]
a. Aliran ittihad, aliran yang mengajarkan bahwa seorang sufi bersatu dengan Tuhannya, yang mana dalam literatur Barat disebut mystical union; suatu tingkatan dalam tasawuf, yaitu yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
b. Aliran Al-Hulul; mengajarkan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh dihancurkan.
c. Aliran wahdat Al-Wujud; mengajarkan bahwa Al-wujud hanyalah Tuhan. Sedangkan wujud selain Tuhan, yaitu alam semesta ini hanyalah penampakan cerminan dari wujud Tuhan.
d. Aliran Khulqi; aliran tasawuf yang tidak bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang mempertahankan tanzih, yaitu kesucian Tuhan dari suatu persamaan dengan makhluknya, menolak konsep Al-Ittihad dan Al-Hulul.
Dalam perjalanan sejarahnya, tasawuf muncul disebabkan adanya orang yang senantiasa kekal beribadah, mendekatkan diri pada Allah, dan berpaling dari kemewahan, tidak menaruh perhatian terhadap dunia. Tujuannya adalah untuk mencapai tingkat ma’rifatullah dan tersingkap dinding (hijab) antara dirinya dengan Allah swt. Dengan demikian jelasah, bahwa pada dasarnya tasawuf telah ada sejak masa Nabi yang ditunjukkan dalam seluruh perilakunya setelah diangkat menjadi nabi. Namun dikenal dengan sebutan tasawuf setelah zaman nabi berlalu.
Berkenaan dengan eksistensi tasawuf dikarenakan adanya orang yang senantiasa beribadah dan mendekatkan diri pada Allah swt sepanjang perjalanan sejarahnya. Oleh karenanya tasawuf memiliki tokoh-tokoh sufi sepanjang zaman, sejak masa setelah nabi, sebagai berikut:
1. Huzaifah Al-Yamani; sahabat nabi yang mulia dan terhormat.
2. Kalangan ahlul bait; Zainal Abidin dan Ja’far bin Ash-Shiddiq.
3. Kalangan sahabat dan tabi’in;
- Salman Al-Farisi (kehidupan zuhud).
- Hasan Al-Basri; orang pertama yang membicarakan ilmu-ilmu kebathinan, keluhuran budi, dan kesucian hati. Berprinsip zuhud jauh dari kemewahan dunia, semata-mata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf, dan raja’.
- Sufyan Ats-Tsauri; bergelar amirul mukminun fil hadits dan dikenal imam mazhab dalam fiqih.
4. Sufi dalam bidang Aqidah
- Yazid Al-Bustami; pelopor ajaran fana’, baqa’, dan al-Ittihad.
- Al-Muhasibi (Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Muhasibi).
- Sahl At-Tustari (Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus).
- Junaidi Al-Bagdad (Abul Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Al-Kazaz An-Nahawandi); mempunyai kedudukan dalam ilmu sufi disebut ahwal yang mengatasi syara’ dan akal.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ilmu tasawuf, ruang lingkup kajiannya berkisar dalam hal hubungan personal hamba dengan Tuhannya, selanjutnya melahirkan beberapa konsep tasawuf yang menunjukkan tingkat pemikiran kesufian, di antaranya: konsep Mahabbah, Ma’rifat, al-Hulul, al-fana wa al-baqa’ dan selainnya.
D. Karakteristik Bidang Kajian Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawuf
Ketiga bidang kajian keislaman tersebut memiliki corak dan karakteristik masing-masing, di antaranya:
1. Filsafat; cara berfikir sistematis dan universal seputar Tuhan, alam, fikiran, dan manusia melalui kacamata metafisika.
2. Ilmu kalam; cara-cara menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil naqli, dalil aqli, ataupun dalil wijdani (perasaan halus).
3. Tasawuf; cara memusatkan perhatian kepada hal-hal yang menunjang kesucian jiwa dengan mengutamakan panggilan Allah swt dan melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi.
Dengan kata lain ketiga bidang kajian keislaman inin memiliki perbedaan dalam hal keunikan dan karakteristik masing-masing untuk memahami ruanglingkup kajiannya. Namun demikian, ketiganya juga memiliki persamaan disamping perbedaan, yaitu: sama-sama bertujuan untuk mengenal ke-Esaan Allah swt dan berupaya meningkatkan kualitas keimanan. Sejalan dalam tujuan, namun berbeda dalam metode dan jalan menempuh tujuan tersebut.
[1] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung: Yayasan PIARA, 1997. hlm. 1
[2] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran ..., hlm. 12 - 13
[3] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat ..., hlm. 14
[4] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kotemporer, Jakarta: AMZAH, 2006, hlm. 300 - 305
[5] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005. hlm. 12 - 13
[6] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 1 - 2
[7] Tim Penulis, Studi Ilmu Kalam, Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, 2001, hlm. 120
[8] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi …, hlm. 81
[9] Tim Penulis, Studi Ilmu …, hlm. 80 - 86
[10] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi …, hlm. 83 - 84
[11] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam …, hlm. 310
[12] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004, hlm. 161
[13] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam …, hlm. 310